Travelling Indonesia – Masyarakat di berbagai daerah di Indonesia memiliki tradisi muludan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tak terkecuali masyarakat Cirebon. Di sana, tradisi muludan telah ada selama ratusan tahun dan lestari hingga kini.
Dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW, Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman mengadakan beragam ritual yang berpuncak pada tradisi Panjang Jimat yang digelar tanggal 12 Rabiul Awal.
Selain menggelar beragam ritual, biasanya keraton juga menggelar kegiatan ekonomi berbentuk pasar muludan untuk menyemarakkan peringatan Maulid Nabi.
Pasar muludan
Tahun 2022 ini, Keraton Kanoman menyuguhkan pasar muludan sebulan suntuk. Di pasar ini dijajakan berbagai macam barang dan jasa, mulai dari makanan, obat-obatan, hingga jasa ramalan. Terdapat pula beragam sarana permainan bagi anak-anak, persis yang ada di pasar malam.
Sementara Keraton Kasepuhan tahun ini meniadakan pasar muludan. Dilansir Kumparan.com, alasan ditiadakannya pasar dadakan muludan adalah karena pihak keraton ingin menjaga keindahan dan kebersihan Alun-alun Sangkalabuana. Alun-alun itu telah ditata rapi dan didesain senyaman mungkin untuk masyarakat.
Tawurji dan Ngapem
Di antara ritual yang ramai diminati warga adalah tawurji dan ngapem pada Rabu terakhir bulan Safar. Tawurji berasal dari dua kata, yakni tawur dan aji. Tawur dimaknai menabur koin dan sejenisnya, sedangkan aji merujuk pada tuan haji atau orang yang mampu.
Esensi ritual tawurji adalah bersedekah. Dalam tradisi ini, keluarga keraton menabur koin Rp500 hingga Rp1.000 ke kumpulan warga yang berebut mengumpulkan recehan itu.
Tawurji digelar sebagai bagian dari rangkaian tradisi Rebo Wekasan yang dilaksanakan pada Rabu terakhir bulan Safar atau menjelang perayaan Maulud Nabi. Dalam rangkaian acara itu, dilaksanakan juga tradisi ngapem.
Ngapem merupakan ritual membuat dan membagikan apem, kue berbahan tepung beras dan ragi, kepada warga sekitar keraton. Tradisi ini dilakukan untuk menolak bala. Apem yang putih menyimbolkan perilaku suci.
Nyiram gong sekaten
Tradisi lain yang menarik perhatian menjelang Maulid Nabi di Keraton Kanoman adalah nyiram gong sekaten atau pencucian gamelan sekaten.
Tujuan dari ritual ini tidak hanya untuk membersihkan gamelan berusia ratusan tahun, tetapi juga jadi ajang memanen berkah. Warga pun berebut bekas cucian gamelan sekaten. Dengan sarana air itu, mereka berharap tubuh menjadi sehat. Air itu juga mereka percikkan ke sawah agar mendapat hasil panen yang melimpah.
Dilansir dari Kompas.id, tradisi pencucian gamelan ini berawal saat Sultan Trenggono, Raja Demak Bintoro III, memberikan gamelan sekaten kepada Ratu Wulung Ayu pada 1520. Ratu Wulung Ayu adalah putri Sunan Gunung Jati dengan istri Nyimas Tepasari dari Majapahit. Gamelan merupakan hadiah bagi Ratu Wulung Ayu. Saat itu, Sang Ratu baru saja ditinggal wafat suaminya, Adipati Unus, Raja Demak Bintoro II.
Sang Ratu lalu membunyikan gamelan setiap bulan Maulud. Selain hiburan, tabuhan gamelan dan tembangnya juga menjadi media dakwah. Kala itu, imbalan atau ”tiket” untuk menyaksikan gamelan sekaten adalah syahadat. Istilah sekaten berasal dari kata syahadatain atau bersyahadat. Saat ini, bagi yang belum memeluk Islam juga tetap bisa sukarela menikmati gamelan sekaten
Sekaten juga bermakna sekati atau sesuka hati, serela hati. Artinya, pembunyian gamelan sekaten harus atas kerelaan hati. Kerelaan hati itu juga merujuk pada keikhlasan berbagi rezeki saat gamelan sekaten dibunyikan pada 7 hingga 12 Maulud. Tidak heran, warga kerap memberikan uang kepada para nayaga.
Siraman panjang
Jika Keraton Kanoman punya tradisi nyiram gong sekaten, Keraton Kasepuhan juga punya ritual pencucian pusaka. Namanya siraman panjang. Tradisi ini berlangsung setiap tanggal 5 bulan Maulud. Pusaka yang dicuci berupa keramik dengan kaligrafi yang terdiri atas 9 piring tapsi atau piring panjang, 40 piring pengiring, 2 guci, dan 2 gelas.
Pusaka yang sudah berusia ratusan tahun itu hanya dikeluarkan sekali setahun dan dipersiapkan untuk tradisi panjang jimat, puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Piring keramik itu merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati, digunakan Wali Sanga saat bersilaturahmi dan bermusyawarah.
Upacaranya berawal saat sejumlah orang berpakaian adat membawa pusaka dalam balutan kain putih. Ketika membasuh perabotan itu, mereka bershalawat dan memanjatkan doa. Serupa nyiram gong sekaten, air bekas siraman panjang juga jadi rebutan warga karena dianggap membawa berkah.
Pencucian pusaka itu bermakna pentingnya menyucikan diri dari hal tak baik menjelang Maulid. Tradisi siraman panjang juga mengajarkan silaturahmi. Sebab, perabotan itu turut menyambut para wali yang bepergian jauh dan berkumpul untuk membicarakan sejumlah masalah umat.
Setelah pencucian, keluarga Keraton Kasepuhan menggelar tradisi buka bekasem, yaitu ikan yang telah difermentasi. Olahan ikan ini dibuat khusus untuk perayaan Maulid.
Bahan bekasem adalah ikan-ikan segar yang terdiri dari kakap, tongkol, tenggiri, dan ikan laut berukuran besar. Setelah dibersihkan dan dipotong kecil-kecil, ikan kemudian dicampur dengan garam, gula merah, dan rempah-rempah yang sudah dihaluskan.
Selanjutnya ikan-ikan itu dimasukkan ke dalam guci atau gentong untuk diawetkan kurang lebih selama satu bulan. Gentong berisi ikan itu lalu disimpan di dalam kamar jimat Keraton.
Saat buka bekasem, keluarga keraton membersihkan ikan itu, lalu menjemurnya di atas potongan jerami. Selanjutnya, ikan digoreng dan akan dihidangkan dalam nasi jimat saat acara panjang jimat.
Konon, para wali dulu memakan ikan, bukan daging. Apalagi, Cirebon merupakan wilayah pesisir yang kaya akan hasil laut.
Nasi jimat
Menjelang puncak acara muludan, Keraton Kasepuhan membuat nasi jimat di Dapur Mulud. Dapur berlantai keramik dengan ventilasi seadanya itu hanya dibuka sekali setahun, saat Maulid. Bapak-bapak menyiapkan kayu bakar, sedangkan ibu-ibu memasak bumbu.
Pertama-tama, pengurus Dewan Kemakmuran Masjid Agung Sang Cipta Rasa, masjid yang dibangun Sunan Gunung Jati, memanjatkan doa. Ibu-ibu berwudu untuk menyucikan diri sebelum memasak. Mereka sudah lanjut usia atau menopause, penanda kesucian karena tak lagi haid.
Ibu-ibu itu akan memasak nasi untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Itu sebabnya, mereka harus bersuci diri dulu. Saat memasak pun mereka terus menjaga kesucian pikiran dan perkataan. Mereka bershalawat, dan pantang berkata buruk.
Dilansir dari Tempo.co, nasi jimat terbuat dari beras yang dimasak dengan minyak kletik atau minyak kelapa. Setelah agak mekar, minyak yang memang tidak bercampur dengan nasi pun diambil dan dipisahkan.
Nasi lalu disiram menggunakan air santan yang berasal dari 40 butir kelapa. Hanya air perasan pertamanya saja yang diambil. Berbagai bumbu rempah-rempah kemudian dicampurkan ke dalam santan dan nasi. Setelah ditutup menggunakan menggunakan daun pisang, nasi pun kembali diliwet hingga masak.
Mereka juga memasak nasi kebuli khas Timur Tengah dari beras sebanyak 70 kilogram. Kemudian lauk seperti tempe, telur, daging, ayam kampung, dan ikan bekasem digabungkan dengan nasi jimat dan kebuli di dalam tujuh tenong. Jumlah tenong itu menggambarkan hari dalam sepekan.
Tenong pertama dan kedua menjadi jatah sultan. Tenong ketiga hingga lima untuk para kerabat sultan. Sisanya untuk penghulu dan kepala kaum masjid. Warga juga mengincarnya. Sisa minyaknya saja dibungkus dalam plastik kecil dan dibagikan untuk dimasak kembali kelak.
Sesuai namanya, jimat merupakan akronim dalam bahasa Jawa, siji kang dirumat (satu yang dipelihara). Dalam hal ini, umat Islam diharapkan berpegang teguh pada satu hal, yakni ajaran agama. Dulunya, padi yang digunakan dikupas satu per satu. Ini menggambarkan kesungguhan.
Nasi jimat yang dihidangkan saat Maulid juga menyimbolkan makanan bagi ibu yang lemas seusai melahirkan. Dalam hal ini, kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kandungan karbohidrat, protein, dan gizi lain dalam nasi jimat merupakan contoh makanan sehat.
Jimat Panjang
Sebagai puncak acara Muludan, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan menggelar Tradisi Panjang Jimat. Warga juga menyebutnya pelal ageng,yang berarti malam keutamaan. Tradisi yang dilaksanakan pada 12 Rabiul Awal ini merupakan refleksi dari proses kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Istilah panjang jimat punya sejumlah makna. Kata panjang merujuk pada sebuah piring pusaka berbentuk bundar besar pemberian pertapa suci bernama Sanghyang Bango dari Gunung Singkup. Adapun jimat adalah benda pusaka yang punya nilai sejarah dan harus dijaga.
Versi lain mengartikan panjang sebagai sesuatu yang terus-menerus tanpa terputus dan jimat adalah siji kang dirumat (satu yang dipelihara) atau merujuk nasi jimat. Meski banyak arti, panjang jimat mengingatkan umat Islam untuk tetap berpegang pada ajaran agama.
Hingga kini tradisi muludan Keraton Cirebon yang sudah berusia ratusan tahun itu masih hidup. Bagi umat Muslim Cirebon, tradisi itu mengajarkan bagaimana menyucikan diri, berbagi, serta meneladani Nabi Muhammad SAW.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.