Travelling Indonesia – Salah satu ”bonus” melintas di jalur Garut-Tasikmalaya, Jawa Barat adalah Kampung Naga. Bisa beristirahat sekaligus menyaksikan bagaimana keteguhan peradaban bertahan menghadapi terjangan zaman.
Letaknya persis di pinggir jalan. Masuk wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Kampung tempat budaya dan tradisi Sunda dijaga secara persisten itu berada di tengah-tengah antara Garut dan Tasikmalaya.
Dari pusat kota Tasikmalaya dapat ditempuh melalui jalur darat sekitar 30 kilometer menuju barat atau lebih dekat melalui Garut, sekitar 26 kilometer menuju timur. Lamanya perjalanan sekitar satu jam. Dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, Kampung Naga dapat dicapai setelah menempuh perjalanan sejauh 106 kilometer selama 2,5 jam.
Kampung berpenduduk 100 kepala keluarga ini berada di kilometer ke-30 dari jalan raya Tasikmalaya-Bandung arah Garut. Sebuah jalan selebar dua meter sepanjang 500 meter menjadi penghubung jalan raya yang ramai dengan pintu masuk Kampung Naga. Jangan harap bakal bertemu naga saat ke kampung yang berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut ini.
Di kiri jalan setapak yang lebarnya cukup untuk tiga orang berjalan bersisian ini, sebuah tanda kehidupan pun mulai tampak. Ada beberapa balong (kolam) dihuni aneka jenis ikan seperti mas, nila, gurame, mujair, dan lele. Di tepian balong terdapat saung serbaguna, bisa untuk mencuci pakaian atau tempat menumbuk padi (lisung) hasil panen. Masih di sisi kiri jalan setapak, kita akan menyaksikan suguhan alam, yaitu hamparan persawahan seluas 5 hektare bak permadani hijau kekuningan. Sebuah papan kayu berukuran besar bertuliskan “Selamat Datang di Kampung Naga” langsung menyita perhatian begitu kaki mulai menapaki langkah menuju permukiman warga.
Di lahan yang sedikit menanjak, berdiri kokoh rumah-rumah warga dengan rupa seragam: rumah panggung kayu berpondasi batu-batu, dinding anyaman bambu berlabur kapur putih, berlantai papan kayu, atap segitiga dari ijuk hitam pekat membentuk julang ngapak atau sayap burung sedang mengepak. Jumlah bangunan Kampung Naga ada sekitar 110 unit, 108 di antaranya dihuni. Bangunan-bangunan tadi berdiri di atas lahan seluas total 1,5 ha dan tidak berubah jumlah serta bentuknya, selalu seperti itu sejak kampung ini berdiri.
Rumah-rumah ini tertata rapi dengan pola memanjang dari timur ke barat atau sebaliknya, dengan pekarangan yang selalu terjaga kebersihannya. Arah rumah seperti itu dipilih sejalan dengan alurnya matahari, terbit di timur dan terbenam di barat, kata peneliti budaya Sunda, Nandang Rusnandar. Barisan rumah menghadap utara atau selatan dengan dua pintu masuk, sebelah selatan serta utara ditambah jendela-jendela. Para pemiliknya seolah tak ingin saling menonjolkan diri dan membiarkan aset mereka terbangun seragam, sungguh bersahaja.
Masih ada tiga bangunan lainnya di luar rumah-rumah warga, seperti masjid, Bumi Ageung, dan Bale Patemon dengan fungsi berbeda. Masjid menjadi rumah ibadah satu-satunya di kampung berpenduduk Islam, agama yang sudah mereka anut sejak awal tempat ini berdiri. Bumi Agueng menjadi tempat sakral masyarakat setempat menyimpan benda-benda pusaka adat, dan Bale Patemon merupakan semacam balai pertemuan warga.
Bangunan di kampung ini usianya belum mencapai ratusan tahun. Mengingat Kampung Naga pernah dibakar oleh organisasi DI/TII pimpinan Kartosuwiryo pada 1956 silam. Ini karena seluruh warga kampung menentang kehadiran DI/TII. Peristiwa itu ikut mengubur arisp-arsip sejarah yang disimpan para leluhur atau karuhun Kampung Naga di dalam Bumi Ageung.
Tradisi Karuhun
Hingga kemudian di antara mereka, kata Ucu, muncul istilah pareum obor atau obor mati. Musnahnya berkas-berkas sejarah kampung adat ini membuat kisah asal mula kampung menjadi pudar, tidak ada titik terang mirip padamnya obor. Tak ada kejelasan sejarah, kapan, dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga sekarang.
Misalnya saja, sejak awal para penduduk sepakat untuk hidup tanpa listrik. Ucu beralasan keberadaan listrik dapat berdampak tidak baik bagi kehidupan mereka. Alhasil, kendati tanpa listrik, mereka tetap bisa menikmati tontonan televisi atau siaran radio berbekal aki yang disambungkan dengan kabel. Kala malam, kampung ini lumayan temaram.
Demikian pula dengan hasil panen padi di Kampung Naga. Kendati berlimpah, mereka jarang menjual hasil panen kepada pihak lain dan diprioritaskan untuk memenuhi pangan warga selama setahun. Asal tahu saja, di sini musim tanam berlangsung dua kali dalam setahun. Hasil panen akan mereka simpan di leuit atau lumbung, tepat di belakang rumah warga.
Demikian juga dengan pengelolaan lahan hutan di Bukit Naga dan Bukit Biuk, dua bukit hijau lestari yang memeluk hangat kampung berkontur cekungan mangkuk ini. Kedua bukit atau leweung dalam bahasa setempat dikeramatkan oleh warga sejak era kolot baheula (nenek moyang) karena dianggap sebagai sumber kehidupan. Bukit-bukit ini merupakan penampung air alami serta menjadi sumber pengairan selain aliran Sungai Ciwulan.
Pemandangan barisan air menetes dari sela-sela akar pepohonan rindang di lereng bukit merupakan hal biasa untuk penduduk kampung. Air-air dari mata air perbukitan itu kemudian mengalir pelan menuju balong warga. Warga juga tidak boleh sembarangan menebang atau memetik tanaman di sekitar kampung serta leweung.
Lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung (panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung), begitu petuah para karuhun Kampung Naga. Artinya dengan menjaga dan melestarikan alam, maka hidup akan berlangsung lebih alami.