Travelling Indonesia – Jika Anda suka salad, semestinya Anda juga bisa menikmati karedok. Makanan khas asal Jawa Barat ini menyajikan aneka sayuran segar yang disajikan dengan bumbu kacang yang gurih.
Karedok merupakan “jenis makanan khas Sunda untuk teman nasi (saat makan),” kata budayawan Ajip Rosidi dalam Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya, termasuk Budaya Cirebon dan Betawi.
Ajip menambahkan, ada tiga macam karedok: karedok leunca, karedok terong, dan karedok kacang panjang. Karedok leunca berbahan leunca yang masih hijau. Bumbunya terdiri atas garam, terasi, kencur, gula, bawang putih, serta serawung (kemangi). Bumbu dilembutkan dalam cobek, disusul leunca dan kemangi digerus tapi tidak sampai lembut betul. Kalau sudah padu, karedok leunca siap dihidangkan.
Karedok terong berbahan utama terong lalap (bukan terung sayur). Kadang ditambah kacang panjang, mentimun, tauge, kol, dan serawung. Bumbunya terdiri atas garam, terasi, gula merah, kencur, asam, dan oncom. Bahan-bahannya diiris-iris, kecuali serawung dan tauge, lalu diaduk dengan bumbu yang telah dilembutkan.
Sedangkan karedok kacang panjang pada dasarnya sama dengan karedok terong, tapi di sini kacang panjang yang menjadi primadonanya. Selain itu ada tambahan pada bumbunya, yaitu cabe.
Sebagai makanan, karedok bukan hanya nikmat tapi juga memiliki kandungan gizi yang tinggi. Bahan-bahan sayuran yang masih mentah dan segar dipercaya memiliki nilai serat yang tinggi.
Ada dua versi mengenai asal-usul karedok. Versi pertama, berdasarkan cerita lisan, menyebut karedok berasal dari Desa Karedok, sebuah perkampungan yang terletak di seberang Sungai Cimanuk, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Cerita bermula dari aktivitas Pangeran Soeria Atmadja, bupati Sumedang (menjabat 1882-1919), ngalintar atau menangkap ikan di sungai dengan jala di Leuwi Kiara yang berada di aliran Sungai Cimanuk. Dia kelelahan, lalu rehat di Kampung Dobol. Perutnya juga keroncongan.
Mengetahui yang beristirahat adalah pemimpin mereka, penduduk kampung menyuguhkan nasi dan karedok terong.
Pangeran Soeria Atmadja memakan suguhan itu dan merasakan kelezatannya. Sepulang dari Kampung Dobol, dia bercerita kepada sesepuh Sumedang tentang hidangan lezat itu. Bahkan kemudian mengajak mereka mendatangi kampung itu dan menyantap karedok. Sejak itu, nama Kampung Dobol diubah menjadi jadi Desa Karedok.
Versi kedua asal-usul karedok bisa dirunut dari kebiasaan orang Sunda makan lalapan. Bukti tertua jejak lalap bisa dirunut dari keterangan pada Prasasti Taji (901) yang ditemukan di Ponorogo, Jawa Timur. Prasasti itu merekam sebuah hidangan bernama Kuluban Sunda yang berarti lalap. Hal itu diungkapkan Fadly Rahman, sejarawan dari Universitas Padjadjaran sekaligus penulis buku sejarah kuliner Nusantara, dalam diskusi “Sunda dan Budaya Lalapan: Melacak Akar Historis Kuliner Sunda”, Selasa, 27 Januari 2015.
Dalam artikel berjudul “Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda”, dimuat Jurnal Metahumaniora Vol. 8 No. 3 (2018), Fadly Rahman juga mencatat jejak lalap dalam Prasasti Panggumulan (902) dari Sleman, Jawa Tengah. Prasasti itu menyebut makanan dari sayuran bernama rumwah-rumwah (lalap mentah), kuluban (lalap yang direbus), dudutan (lalap mentah yang diambil dengan cara dicabut dari akarnya), dan tetis (sejenis sambal atau petis).
Kemudian sebuah naskah Sunda tinggalan abad ke-16, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) menyebut ”kalingana asak deung atah” (sebenarnya hanya mentah dan masak). “Mungkin sekali ini menunjuk kepada konteks lalab yang dikonsumsi mentah dan dimasak sebagaimana disebut dalam Prasasti Panggumulan dari abad ke-10 M,” ujar Fadly.
Menurut Fadly, hingga awal abad ke-20, kebiasaan makan orang Sunda tetap identik dengan konsumsi nabati. Setidaknya dalam beberapa riset botani yang dilakukan sarjana kolonial, istilah groenten gerechten (makanan sayuran) acap menyebut kata lălăb sebagai makanan orang Sunda.
Unus Suriawiria, ahli mikrobiologi Institut Teknologi Bandung, dalam bukunya Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda menjelaskan bahwa kegemaran masyarakat Sunda makan lalap sejalan dengan budayanya yang mementingkan harmoni manusia dengan alam.
Disebutkan Unus, jenis lalap didokumentasikan dua orang Belanda, yaitu JJ Ochse dan RC Bakhuizen van den Brink, dalam buku Indische Groenten (Sayur-sayuran Hindia) yang terbit tahun 1931.
Buku itu diterjemahkan Isis Prawiranagara dengan judul Lalab-lalaban tahun 1943. Pada pengantarnya, disebutkan lalap tak hanya berwujud daun seperti daun singkong, pepaya, selada, dan puluhan jenis daun lainnya. Lalap bisa berupa umbi (kunyit, kencur), buah muda (pepaya, mentimun, leunca), bunga (kenikir, honje/kecombrang), bahkan biji-bijian (biji nangka, dan petai).
Cara mengkonsumsinya, dimakan mentah atau direbus/dikukus. Ada juga yang diolah dengan bumbu. Bisa diolah jadi sajian lotek, karedok, ulukutek, atau reuceuh.
Jadi, lalap maupun karedok tak bisa lepas dari kebiasaan orang Sunda menyantap sesuatu yang dekat dari kehidupan mereka. Unus Suriawiria menyebut kebiasaan orang Sunda berkarib dengan alam ikut mempengaruhi menu makan mereka sehari-hari.
Kebiasaan memakan sesuatu yang diolah langsung dari alam juga mencerminkan pandangan hidup orang Sunda tentang kesederhanaan. Kenikmatan dapat diperoleh dari sesuatu yang sederhana. Apalagi sajian sederhana ini menyehatkan.
Kenikmatan dan kesehatan. Dua hal ini jadi kebutuhan bagi setiap orang dimanapun mereka hidup. Tak heran jika karedok kemudian dimakan pula oleh orang di luar Jawa Barat.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.