Travelling Indonesia – Memakai bahasa yang membumi, sajak-sajak Chairil Anwar memikat banyak penggemar, melintasi generasi. Dengan itu pula, sang penyair menembus budaya populer. Fotonya ibarat pop icon. Kata-katanya jadi kutipan romantis dalam film.
Sulit disanggah, Chairil adalah penyair yang paling terkenal, dan paling mudah dikenali, di Indonesia. Sosoknya mungkin bisa dipadankan dengan Iwan Fals di belantika musik. Bedanya, Chairil berusia singkat, mendekati 27 tahun.
Tahun ini, jika dihitung sejak hari lahirnya, sang penyair agung berusia 100 tahun. Merayakan momen itu, Salihara Arts Center menanggap pameran Seratus Tahun Chairil Anwar: Aku Berkisar Antara Mereka, dari 28 Oktober-4 Desember 2022. Pameran ini digarap lewat kerja sama dengan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Dari lembaga inilah mayoritas arsip seputar Chairil dipinjam.
Memasuki galeri, pengunjung awalnya disambut lini masa yang merinci momen-momen penting dalam hidup Chairil, dari kelahirannya di Medan pada 1922 hingga kepergiannya di Jakarta pada 1949. Sepanjang hayatnya, sastrawan Angkatan ‘45 ini memproduksi 72 sajak dan tujuh prosa, sebagian bergema panjang.
Beberapa episode hidupnya itu kemudian dikembangkan dalam zona-zona khusus. Di bagian pertama, ada kisah pendirian Gelanggang Seniman Merdeka, kolektif progresif yang berupaya mendobrak pakem sastra, hingga memicu polemik.
Di bagian lain, ada cerita tentang kedekatan Chairil dengan para pelukis, termasuk Sudjojono, Affandi, dan Basoeki Resobowo. Juga dikisahkan, sosok-sosok penting yang berperan dalam kiprah sang penyair, termasuk Des Alwi, Rosihan Anwar, H.B. Jassin, serta tentu saja Sutan Sjahrir yang merupakan paman dari Chairil.
Pameran yang bertempat di ruang galeri Salihara ini dikuratori oleh duet Laksmi Pamuntjak (novelis) dan Cecil Mariani (desainer grafis dan seniman). Dalam pengantar kuratorialnya, keduanya berniat memaknai ulang kontribusi Chairil dalam dunia sastra, serta memberi dimensi lain di luar mitos “binatang jalang” yang melekat pada sang penyair.
Tak terjebak pada glorifikasi, pameran biopik ini mencoba kritis. Di antara 300 objek, terbentang meja panjang berisi karya-karya yang dituding produk jiplakan. Di sini, kedua kurator menyandingkan karya dari Chairil dan karya penyair lain yang diduga berbagi banyak kemiripan. Semasa hidupnya, sang pelopor puisi modern Indonesia ini tak lepas dari kritik pedasdan publik kini diminta ikut menilainya.
Dengan instalasi yang dinamis, pameran di Salihara ini mencoba menghadirkan Chairil dalam konteks kontemporer. Jauh dari kesan “kajian sastra,” pameran ini dikemas renyah dan populer. Publik diajak berkenalan lebih akrab dengan sosok almarhum: memahami sumber inspirasinya, kontroversi yang menyertainya, juga kontribusi orang-orang terdekatnya.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.