Travelling Indonesia – Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang dan angkringan. Demikianlah kutipan dari sang penyair Joko Pinurbo, yang saat ini sering dipopulerkan oleh para generasi milenial di media sosial untuk menggambarkan kenangan akan nuansa Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta, identik akan nuansa kota yang bersahaja, turut mengambil contoh dari keberadaan kedai makan tradisional yang lazim disebut dengan angkringan. Angkringan Yogyakarta merupakan suatu konsep kedai makanan untuk kelas masyarakat menengah ke bawah, yang lazim beroperasi di pinggiran jalan atau kaki lima.
Di Yogyakarta, keberadaan kedai tersebut umumnya dapat dikenali berdasarkan ciri khas pikulan ataupun gerobak yang ditaruh di pinggir jalan, lengkap dengan pencahayaan yang temaram pada malam hari. Angkringan dapat juga diidentifikasi berdasarkan pilihan panganan dan minuman yang disajikan.
Ciri khas Angkringan
Selain menyuguhkan sajian minum-minuman hangat seperti teh, minuman jahe panas (wedang jahe) dan kopi, angkringan juga dilengkapi dengan berbagai penganan sederhana seperti aneka gorengan serta sate-satean (sundukan).
Ciri khas menu sajian dari angkringan yang cukup populer adalah nasi bungkus yang sering disebut sebagai sego kucing. Istilah sego kucing atau nasi kucing merujuk pada porsinya yang sangat sedikit dan dilengkapi potongan kecil ikan bandeng atau teri dan tumisan tempe (oseng-oseng), sehingga menyerupai makanan yang diberikan untuk kucing.
Sajian minuman serta penganan yang dapat dikatakan sederhana tersebut membuat keberadaan kedai-kedai angkringan relatif dapat dijangkau dan dinikmati oleh berbagai kalangan, terutama masyarakat kelas bawah.
Kesederhanaan tersebut juga menghilangkan sekat-sekat keeksklusifan dan menjadi ruang berbaur antar kalangan. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena para pedagang angkringan juga mematok harga yang relatif murah untuk sajian penganan yang menggambarkan selera masyarakat kelas menengah ke bawah.
Konsep yang sederhana tersebut menjadikan angkringan menjadi sebuah tempat makan sambil kongkow-kongkow menghabiskan waktu malam yang cukup populer.
Kemunculan Pertama Kali di Solo
Angkringan adalah sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman di pinggir jalan di Yogyakarta, Solo dan Klaten.
Kepopuleran angkringan juga membuat banyak penelitian serta artikel yang membahas asal-usul dan sejarah kemunculan dari konsep berjualan tersebut. Salah satunya adalah artikel yang berjudul Menu Fast Food Asli Indonesia yang dimuat harian Solopos edisi 18 Juli 2019.
Dalam artikel tersebut, tersebut bahwa kehadiran angkringan dipelopori oleh Mbah Pairo asal Cawas, Klaten, yang mulai berdagang angkringan secara memikul di sekitaran Yogyakarta pada 1950-an. Referensi sejarah tersebut masih terlalu minim dan tidak secara mendalam menggambarkan aspek historis dari asal mula keberadaan angkringan.
Sebagai rujukan historis yang lebih mendalam, tergambar dari penelitian Heri Priyatmoko, sejarawan dan akademisi dari Universitas Sanata Dharma. Dalam penelitiannya, ia mengungkapkan temuan bahwa konsep berdagang ala angkringan justru pertama kali ditemukan di kota tetangga Yogya, yaitu Solo.
Pedagang angkringan juga telah hadir jauh sebelum Republik Indonesia meraih kemerdekaannya. Argumentasi dari Heri merujuk pada temuan artikel koran Djawi Hiswara 28 Januari 1918. Koran tersebut memberitakan sebuah pencuri yang beraksi di Kampung Kauman, dekat Keraton Solo, yang kemudian tertangkap oleh warga ketika bersembunyi di dalam ‘angkring’.
Istilah ‘angkring’ dalam berita tersebut juga diberi penjelasan berupa keranjang pikulan yang digunakan untuk mewadahi penganan dan minuman kopi. Lebih jauh, istilah angkring telah dipakai dalam kutipan Babad Tanah Jawi yang menceritakan kehidupan masyarakat Jawa pada periode Kerajaan Mataram Islam.
Seperti contoh potongan kalimat dalam Babad Tanah Jawi sebagai berikut, “mikul angkring saben dina, môngsa mundhak-mundhaka, nora bisa lungguh ingsun” (memikul angkring setiap hari, tidak lekas bertambah, saya tidak bisa istirahat).
Temuan tersebut menandakan bahwa angkring telah dikenal dan akrab oleh masyarakat Jawa sejak abad 17 hingga 18. Angkring juga tidak selalu merujuk pada alat atau perkakas untuk berdagang makanan dan minuman.
Sedangkan, Gunadi dan Suwarna selaku founder ikon Desa Cikal Bakal Angkringan mengatakan bahwa angkringan diciptakan oleh warga Klaten bernama Eyang Karso Dikromo dari Desa Ngerangan.
Pada 1930-an, Mbah Karso merantau ke Solo. Di sana, Mbah Karso bertemu dengan Mbah Wiryo yang berjualan terikan dengan menggunkaan pikulan tumbu pada 1943.
Keduanya bertukar pikiran dan menemukan inovasi pikulan jualannya. Di solo, angkringan sering disebut dengan hik. Suwarna menyebutkan kalau hik berasal dari cara menjualnya yang bersautan hiyeek!.
Berkembang Seiring Kemajuan Kota
Angkringan sebagai konsep berdagang masyarakat kecil mulai marak bermunculan seiring berkembangnya Solo menjadi kota modern pada awal abad 20 atau sekitar 1900-an.
Pada periode tersebut, Solo telah berubah menjadi salah satu kota besar dan penting di Pulau Jawa. Kemajuan kota juga didukung dengan diperkenalkannya aliran listrik untuk menerangi kota pada malam hari yang dipasok dari Solo Electiciteit Maatschappij (SEM).
Adanya aliran listrik juga menciptakan sarana-sarana hiburan kota lainnya dan membuat pola kehidupan budaya masyarakat Solo menjadi bercorak urban modern. Kerlap-kerlip kehidupan malam di Solo membuat kalangan wong cilik dari daerah Klaten mengintip sebuah celah baru dalam menangkap peluang ekonomi demi menghidupi keluarga.
Mereka berjualan penganan dan minuman sederhana dengan berkeliling menggunakan angkring untuk turut menyemarakkan kehidupan malam kota. Banyaknya pedagang angkringan tersebut, menjadi berkah dan alternatif bagi para supir dokar selepas mengantarkan nyonya dan tuan menghabiskan malam di sarana hiburan.
Perkembangan selanjutnya para pedagang angkringan dari Klaten mulai merambah ke kota-kota lainnya seperti Yogyakarta dan Magelang. Di Yogya yang berkembang menjadi kota wisata dan kota tempat banyak mahasiswa menempuh studi, angkringan mendapatkan tempat tersendiri sebagai alternatif tempat makan serta nongkrong sambil ngobrol ngalor-ngidul tanpa khawatir dompet terkuras.
Angkringan dapat ditemui nyaris di setiap sudut saat malam di Yogyakarta dan Solo dengan ciri khas lampu temaramnya. Kini konsep angkringan mulai dilirik para pelaku bisnis kuliner untuk mengubah angkringan yang sederhana di pinggiran jalan menjadi berkonsep kafe atau resto.
Angkringan kekinian saat ini marak dan tumbuh pesat seiring dengan popularitas wisata kuliner. Kafe dengan label angkringan mereka hadirkan untuk menjangkau cakupan konsumen dari kalangan menengah ke atas.
Saat ini memang menjadi tren tersendiri mengangkat unsur-unsur tradisional, lawas, dan “merakyat” sebagai komoditas bagi kalangan menengah ke atas. Berdasarkan uraian di atas, dapat kita pelajari bahwa dari kedai makan sederhana seperti angkringan, dapat dilihat sebagai sebuah situs yang menangkap berbagai hal terkait perkembangan sosial dan budaya suatu masyarakat.
Angkringan tidak hanya dapat dinikmati dari aspek kenangan yang bersifat nostalgia. Lebih luas, sejarah kehadiran dan perkembangan angkringan juga tidak terlepas dari konteks dinamika sejarah perkembangan dua kota di jantung tanah Jawa yaitu Solo dan Yogya.
Di lain sisi, konsep angkringan menjadi sebuah spirit tersendiri terkait bagaimana bentuk eksistensi kehidupan sosial budaya masyarakat kecil dalam kehidupan kota. Semangat tersebut jugalah yang saat ini menjadikannya sebuah “komoditas” konsep dagangan baru bagi para pelaku bisnis kuliner.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami Instagram, Facebook dan Twitter.