Travelling Indonesia – Pariwisata Bali berutang banyak pada peselancar. Sejak kedatangan Robert Koke pada 1936 hingga Bill Boyum pada 1970-an, kaum pembawa papan giat melacak ombak-ombak terbaik, menembus pelosok, membuka jalan bagi lahirnya kantong-kantong turis di pesisir, dari Uluwatu hingga Canggu.
Medewi lahir dari proses serupa. Sejumlah sumber pustaka mengklaim, kawasan ini terdeteksi peselancar asing sejak 1970-an. Sejak itu, pengendara ombak ajek berdatangan, surf lodge perlahan bermunculan. Tak lama, Medewi pun dijuluki “Little Canggu,” walau ini Canggu yang punya banyak masjid. Ada banyak Muslim di sini.
Tahun ini, Medewi mulai memenuhi “nubuatnya.” Awalnya rahasia segelintir peselancar, desa klandestin ini dilirik investor. Juli silam, sebuah resor merek asing dibuka di tepi Medewi, menempatkan desa ini dalam radar turis global. Tak lama, generasi pelancong baru mulai berdatangan dan tak semuanya membawa papan.
Medewi berlokasi di Kabupaten Jembrana. Namanya mungkin jarang terdengar. Maklum, di pesisir selatan Bali, pariwisata sepertinya mentok di Tanah Lot. Dari sini, Medewi masih terpisah 50 kilometer lagi. Jaraknya lebih dekat ke Banyuwangi ketimbang Bandara Ngurah Rai.
Lost Lindenberg, resor terbarunya, berjarak enam kilometer dari titik selancar Medewi Point. Lokasinya di daerah permukiman. Lahannya terselip anggun di antara pepohonan, menjulur ke pantai tampan berpasir hitam legam.
Resor ini bagian dari jaringan Lindenberg, grup muda dengan portfolio berisi hanya empat hotel di Jerman. Itu mungkin sebabnya, kehadirannya di Bali terkesan “drastis.” Untuk properti pertamanya di luar negeri, mereka langsung melanglang 12.000 kilometer ke selatan bumi. Bayangkan jika, misalnya, Komaneka mendadak buka cabang di Eropa.
Keputusan ekspansi ini, kata Christine Fiebiger, General Manager Lost Lindenberg, lahir dari spontanitas. Beberapa tahun silam, pemilik Lindenberg pelesir ke Bali, singgah di Medewi untuk berselancar, lalu kepincut. “Begitu saja, dia langsung putuskan bikin properti di sini,” kenangnya.
Menuju resor dari bandara, tamu akan melalui jalan penuh liku. Ini jalur logistik antara Gilimanuk dan Padangbai. Ada banyak truk barang lalu-lalang, membuat perjalanan kerap tersendat. Memasuki Jembrana, sesekali muncul hiburan: panorama sawah, nyiur, dan pegunungan. Mirip lukisan romantis Walter Spies.
Mendarat di Lost Lindenberg, tamu awalnya disambut tembok berisi pelang-pelang neon. Penataannya acak, seolah dicomot asal dari kelab malam atau bar disko. Di desa yang minim lampu, fasad resor terasa menohok, tapi ada makna di baliknya. Pembuatnya, artis Tobias Rehberger, ingin menciptakan semacam “perbatasan psikologis.” Instalasi pop ini mewakili dunia bising yang akan ditinggalkan tamu usai memasuki resor.
Lost Lindenberg, anggota kolektif Small Luxury Hotels of the World, berkapasitas hanya delapan kamar. Kecil memang, tapi desainnya megah. Kompleks ini terdiri dari empat menara “gardu pandang” yang dibariskan zigzag ke arah laut. Kamar-kamar hinggap di puncak menara. Di antara menara, jembatan terbentang menampung fasilitas resor: restoran, bar, kolam renang, dek bersantai, pergola untuk kelas yoga.
Arsitekturnya digarap oleh Alexis Dornier, figur kondang di Bali. Merujuk konsepnya, Alexis ialah memicu sensasi melayang di atas hutan, menatap lautan di kejauhan. Demi itu pula, semua kamar dibingkai kaca besar. Kecuali bagi pengidap akrofobia, bangun tidur adalah momen yang magis. Cukup geser gorden, lautan terhampar, Alas Purwo terlihat samar di Jawa Timur. Sore hari, mentari menembak sinar senja layaknya lampu mercusuar di ufuk barat.
Seluruh kamar dirangkai dari kayu. Lantai, dinding, atap, hingga mebelnya, semua berbahan kayu. Tak ada bathtub dan televisi. Air panas, AC, dan internet tersedia. Matrasnya dibalut kelambu. Kamar mandinya dikepung jendela krapyak. Studio Jencquel, firma yang menggarap interior resor, jeli menjaga estetika visual. Kamar terasa trendi, tapi tetap rendah hati.
Berselancar adalah aktivitas utama di Lost Lindenberg. Kelas-kelas bagi pemula dibuka gratis di pantai depan resor. Naik VW Combi, tamu bisa mengendarai ombak di pantai-pantai tetangga.
Di luar selancar, resor ini cocok untuk retret. Jumlah tamu maksimum 16 orang. Karyawannya mendekati 40 orang, membuat standar servis cukup terjaga. Di kamar, gin tonic terhidang di meja. Stoples camilan dan infused water dipasok saban hari. Untuk minuman lainnya, tamu bisa langsung pesan dari bar. (Satu catatan: kopi lebih mahal dari bir, mungkin karena disajikan pakai cangkir custom dari Gaya Ceramic.)
Area sekitar resor masih sepi. Tiap kali ke pantai, jumlah pengunjung bisa dihitung dengan jari cukup jari tangan. Jembrana belum masuk radar investor kakap. Menurut BPS, kabupaten ini hanya dihuni lima hotel bintang dan Lost Lindenberg adalah properti waralaba pertamanya. Satu jalan di Kuta bisa punya lebih banyak hotel ketimbang seantero Jembrana. “Kami ingin liburan yang tenang di Bali sebelum pulang,” ujar Joakim, turis asal Swedia, yang datang bersama keluarganya ke Lost Lindenberg.
Berhubung pariwisata belum berkembang, opsi restoran di sini sangat minim. Menginap di resor, tamu hampir pasti makan di resor. Dan untuk urusan perut ini, Lost Lindenberg memilih aliran yang cukup berani untuk standar Bali.
Dapurnya dipimpin oleh Yefta Gunawan Putra, koki asal Malang. Dia pernah bekerja untuk koki selebriti Vindex Tengker di Dharmawangsa Jakarta. Di Lost Lindenberg, Yefta meracik menu-menu berbahan tanaman. Hanya tanaman. Semua bahan yang melibatkan hewan dalam proses produksinya, contohnya madu, dilarang.
Pada jam sarapan, hidangannya meliputi roti buatan sendiri, yogurt kelapa, serta bubur. Tengah hari, opsinya antara lain nasi goreng, sandwich isi tempe, dan garden salad. “Sangat menantang,” kata Yefta. “Mesti bikin menu sehat tapi tidak hambar, dengan presentasi yang menarik.”
Khusus makan malam, Yefta lebih kreatif bereksperimen dengan menu vegan. Contoh hidangannya ialah ubi panggang dengan kailan, rebung goreng dengan jamur, rempeyek dengan coleslaw. Format penyajiannya pun sedikit berbeda: makan tengah. Seluruh tamu dipanggil untuk makan bersama di meja panjang. Resor ini cocok untuk liburan romantis, tapi dunia tak selalu milik berdua. Tiap malam, semua orang melebur jadi satu keluarga.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.