Travelling Indonesia – Kapata merupakan tradisi lisan berupa syair yang dinyanyikan dan masih terjaga dalam budaya masyarakat Maluku Tengah.
Isinya tentang suatu peristiwa sejarah dan bersifat informatif. Kapata dilantunkan dalam bahasa daerah setempat. Pelantunan syair ini merupakan bagian penting dalam ritual adat masyarakat Maluku Tengah.
Di beberapa daerah di Maluku, kapata disebut dengan istilah yang berbeda. Misalnya, di Pulau Aru disebut foruk, di Pulau Buru disebut kabata dan ianfuka, sedangkan di Pulau Seram disebut pasawari.
Kapata memiliki peran penting dalam ritual adat. Syair itu dibacakan dan menjadi bagian dalam acara-acara yang adat yang penting.
Kapata dilantunkan saat pelantikan raja, pelantikan kepala soa, prosesi adat bawa harta, penyambutan tamu, upacara panas pela, saat acara kumpul keluarga, dan acara meminang calon pengantin.
Kapata juga dibacakan saat pagelaran Tari Maku-maku atau Mako-mako, tari pergaulan rakyat Maluku.
Para pencerita melantunkan kapata menggunakan tifa sebagai penuntun pola ritmis. Pada ranah ritual adat, penyajian kapata harus disertai dengan penyajian apapua yang terdiri dari sirih, pinang, tabaku, dan sopi.
Kapata banyak bercerita tentang kehidupan orang Maluku pada masa lampau. Itu sebabnya, syair ini dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah Maluku.
Nyanyian rakyat Maluku Tengah ini juga mengandung banyak pesan moral. Hingga kini, beberapa orang, terutama tokoh-tokoh tua atau tokoh-tokoh adat di desa-desa adat (negeri), pada umumnya masih bisa menuturkannya.
Tradisi lisan kapata, bentuk bahasa yang secara khusus digunakan oleh masyarakat dalam upacara adat, dengan irama tertentu, tersusun dalam larik-larik dan disampaikan dalam bentuk monolog maupun dialog.
Bentuk tersebut hanya digunakan pada upacara-upacara adat pada masyarakat pemakai, seperti pada upacara panas pela, upacara pelantikan raja, upacara perkawinan dan upacara-upacara lainnya yang sejenis, dan digunakan oleh orang-orang tertentu, seperti kepala desa atau tua adat (sesepuh desa) yang menguasai adat.
Kapata yang biasa dipakai dalam komunikasi upacara-upacara adat merupakan bentuk tradisi lisan (sastra daerah) yang tergolong juga dalam folklor lisan (verbal folklore).
Tradisi lisan merupakan bagian dari hasil cipta dan persediaan sastra yang telah lama hidup dalam tradisi suatu masyarakat, baik masyarakat yang telah mengenal tulisan maupun belum.
Identifikasi Nilai Sastra Lisan Kapata
Identifikasi bentuk sastra lisan kapata mengacu pada bentuk folklor lisan yang meliputi; bahasa rakyat, gelar atau pangkat tradsisonal, julukan, puisi tradisional, cerita atau prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.
Nilai dalam sastra lisan kapata masyarakat Maluku Tengah adalah sesuatu yang dipegang seseorang secara pribadi dan terinternalisasi dalam perilaku. Nilai juga merupakan unit kognitif yang digunakan dalam menimbang tingkah laku dengan timbangan baik buruk, tepat tidak tepat dan benar salah serta merujuk pada apa yang seharusnya dilakukan.
Nilai religius merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat. Nilai tersebut besumber dari kebenaran tertinggi yaitu Tuhan. Cakupan nilai ini sangat luas, struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental merupak dua sisi unggul yang dimiliki nilai religius.
Nilai filosofis merupakan nilai yang berada pada matra tema-tema abstrak dan sewaktu-waktu berada dala wilayah empiris atau berada pada keyakinan mistis. Nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan selalun berada pada matra nilai yang paling tinggi dan menjadi tujuan akhir kehidupan.
Dengan kata lain, nilai-nilai tersebut sifatnya universal dan berlaku sebagai nilai akhir dan subjektif sifatnya, sedangkan fenomena atau riak kehidupan yang seolah-olah menjauhkan antara nilai dan kenyataan dipahami sebagai ketidaklengkapan atau kesalahan ikhtiar manusia.
Dalam upacara adat di Maluku Tengah, tradisi lisan kapata telah mengungkap sejumlah nilai etik moral yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama untuk dipegang teguh sebagai nilai yang dapat diaktualisasi dan dimanifestasikan sebagai sebuah representasi nilai etis dalam membangun dan menjalani kehidupan bersama, disepakati sebagai norma baik secara lahiriah maupun batiniah.
Temuan-temuan ini memiliki implikasi, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, temuan ini memiliki implikasi pada kajian budaya, kajian folklor dan sosiolinguistik. Secara praktis temuan ini memberi manfaat untuk menentukan kebijakan dalam melestarikan budaya etnik.
Bisa disimpulkan, kapata memiliki peran penting pada domain budaya masyarakat Maluku yaitu sebagai pendukung ritual adat, pemelihara sejarah, membangun harmoni sosial, pengayaan bahasa dan budaya, pembangkit semangat, serta sebagai sarana pengajaran dan pewarisan nilai-nilai budaya.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami Instagram, Facebook dan Twitter.