Travelling Indonesia – Niowuru atau ni’owuru adalah metode pengawetan makanan berbahan dasar daging (biasanya daging babi) dengan cara pengasinan atau diberi garam dalam jumlah banyak. Metode pengawetan ini digunakan oleh masyarakat Nias, khususnya di Nias Barat dan Nias Utara.
Pengawetan dengan metode penggaraman umum dilakukan. Namun, jika di daerah lain yang diasinkan biasanya adalah ikan, niowuru berbahan dasar daging, terutama daging babi.
Daging yang telah diawetkan dengan metode niowuru memiliki tekstur yang sedikit keras dan agak kering. Rasanya sangat asin, tetapi aroma daging yang khas masih terasa.
Proses pengawetannya relatif mudah, rasanya juga nikmat, dan juga praktis untuk mengolahnya. Makanan yang telah diawetkan dengan metode ini dapat dihidangkan sewaktu-waktu ketika tamu tak terduga datang berkunjung.
Karena rasanya sangat asin, daging perlu dibilas beberapa kali dengan air atau direbus satu sampai dua kali sebelum dimasak untuk dikonsumsi. Rasa asin tidak sepenuhnya hilang, tapi sudah dalam kadar rendah.
Dulu, metode pengawetan Niowuru sering digunakan untuk mengawetkan daging yang berlebih. Daging yang tidak habis dimasak dalam acara-acara besar tentu akan mubazir jika dibuang. Itu sebabnya, pengawetan menjadi alternatif terbaik.
Masyarakat Nias mengonsumsi daging niowuru sebagai makanan adat maupun makanan sehari-hari. Daging niowuru juga menjadi makanan khas karena hanya ada di Nias dan merupakan resep yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.
Pada 2016, pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan metode pengawetan daging khas Nisa ini sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WTBT) dari Provinsi Sumatra Utara.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.