Travelling Indonesia – Perkembangan sport tourism semakin pesat, hal ini menjadi salah satu tren dalam penggerak sektor pariwisata di dunia termasuk Indonesia.
Sesuai dengan namanya, sport tourism adalah wisata yang dikombinasikan dengan olahraga. Ditambah lagi, sport tourism merupakan tren pariwisata yang memiliki pasar cukup besar.
United Nations World Tourism Organizations (UNWTO) menjelaskan, sport tourism merupakan sektor wisata yang pertumbuhannya paling cepat karena aktivitasnya diminati wisatawan. Dan saat ini, Indonesia dianggap sebagai ikon sport tourism dunia berkat keindahan alam dan budaya yang dimiliki.
Keanekaragaman budaya di Tanah Air sejatinya telah melahirkan sport tourism berbasis kearifan lokal. Keberadaanya tentu mampu membangkitkan ekonomi sekaligus membuka lapangan kerja.
Lompat Batu
Sport tourism berbasis kearifan lokal Indonesia yang pertama adalah Lompat Batu di Nias. Bukan lompat batu biasa, atraksi yang dikenal dengan nama Hombo Batu ini merupakan atraksi melompati batu setinggi dua meter dan lebar 40 centimeter (cm).
Atraksi wisata dari Desa Wisata Bawomataluo, Nias, Sumatera Utara itu awalnya merupakan tradisi yang dilakukan sebagai syarat pemuda untuk mengikuti perang. Pemuda yang berhasil melompati batu dianggap sebagai sosok dewasa yang telah matang secara fisik.
Menariknya, selain ditampilkan sebagai acara adat, tradisi yang terus dilestarikan oleh warga Desa Wisata Bawomataluo itu juga telah menjadi pertunjukan menarik bagi para wisatawan.
Pacu Jalur
Pacu Jalur juga masuk kategori sport tourism dengan kearifan lokal di Indonesia. Pacu Jalur adalah lomba dayung tradisional Provinsi Riau yang memadukan unsur olahraga, seni, dan olah batin.
Pacu Jalur digelar untuk melestarikan budaya. Mengingat, sejak 1900-an perahu adalah transportasi utama masyarakat Kuantan Singingi, Riau.
Uniknya, kegiatan olahraga yang mirip dengan Perahu Naga ini menggunakan perahu sepanjang 25-40 meter, dan bisa diisi hingga 40 pendayung. Bukan hanya menarik wisatawan domestik, Pacu Jalur berhasil menarik wisatawan mancanegara asal Malaysia, Amerika Serikat, dan Australia.
Pacu Jawi
Selanjutnya adalah pacu jawi, sport tourism dengan kearifan lokal yang dikenal dengan balapan sapi. Upacara adat ini sekarang menjadi salah satu sport tourism unggulan Sumatera Barat yang telah mendunia. Bahkan, juga ditunggu-tunggu wisatawan lokal dan mancanegara.
Dalam tradisi, Pacu Jawi menjadi perayaan ucapan syukur atas masa panen masyarakat. Itulah mengapa, balapan sapi dilakukan di hamparan sawah berlumpur selepas sawah-sawah telah panen padi. Keseruan semakin bertambah karena sang joki mengendalikan sapi dengan cara menggigit ekornya agar bisa berlari kencang.
Karapan Sapi
Sport tourism berikutnya berasal dari pulau Madura, Karapan Sapi. Mirip dengan tradisi Pacu Jawi, awalnya Karapan Sapi dilakukan untuk mengolah sawah, karena konon sawah di Madura gersang dan memiliki tanah keras, sehingga masyarakat malas bercocok tanam. Mereka lebih memilih menjadi nelayan daripada petani.
Akhirnya tiba pada suatu masa, seorang ulama bernama Syeikh Ahmad Badawi datang dan mengajarkan kepada masyarakat Madura cara berocok tanam.
Teknik mengolah lahan persawahan yang diajarkan ulama tersebut adalah dengan menggunakan dua ekor sapi. Kedua sapi tersebut dipasangi sebilah bambu. Kemudian kedua sapi tersebutlah yang membajak sawah. Tujuan dari sistem tersebut selain untuk membajak sawah, juga dilakukan untuk memilih sapi yang paling kuat.
Lambat laun kegiatan tersebut berkembang menjadi olahraga yang sangat diminati masyarakat. Saat ini karapan sapi menjadi olahraga yang menarik minat tersendiri.
Karapan sapi merupakan olahraga balapan antara sapi. Di mana dua ekor sapi diikat dan dipasangi bajak, kemudian seorang joki akan menaiki bajak tersebut untuk mengendalikan sapi. Joki tersebut akan menuntun sapi dari posisi start ke garis finis.
Pertandingan ini berlangsung hanya sekitar 30 detik sampai satu menit dengan jarak tempuh 100 meter. Adapun lokasi pertandingan adalah area persawahan atau lahan yang berlumpur.
Perahu Sandeq
Perahu tersebut digadang-gadang sebagai perahu tercepat di dunia. Bahkan, perahu Sandeq konon bisa mencapai kecepatan 15-29 knot, atau sekitar 54 km/jam.
Keunikan perahu Sandeq juga telah dilirik dunia. Perahu ini menjadi salah satu aset nasional yang dipamerkan di Museum d’Histoire Naturelle, Prancis.
Perlu diketahui, desain Perahu Sandeq telah berusia 3.000 tahun dan menjadi salah satu perahu tertua dalam sejarah maritim Indonesia.
Oleh karena itu, Festival Perahu Sandeq bisa menjadi ajang pariwisata budaya maritim yang dapat menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara.
Festival Kuda Sandalwood
Kalau tadi sapi, sport tourism selanjutnya menggunakan kuda poni khas Sumba, yaitu Sandalwood. Menurut sejarah, kuda Sandalwood merupakan persilangan kuda Arab dengan kuda lokal untuk menghasilkan penampilan yang lebih gagah.
Diambil dari nama pohon cendana, kuda Sandalwood memiliki ciri fisik yang lebih pendek dibandingkan kuda ras Eropa maupun Amerika. Tinggi punggung kuda hanya sekitar 130-140 cm, tetapi memiliki leher yang kekar. Kuda tersebut memiliki berbagai warna, mulai dari abu-abu, hitam, coklat tua, putih, hingga belang.
Selama Festival Kuda Sandalwood berlangsung, kuda didekorasi memakai aksesori unik. Selain itu, penunggangnya menggunakan kostum tradisional. Dalam festival yang satu ini, wisatawan juga dapat merasakan sensasi berkuda keliling berbagai destinasi menakjubkan di Sumba.
Pacuan Kuda Gayo
Kalau tadi di Sumba, sekarang beralih menuju sport tourism di Aceh, Pacuan Kuda Gayo. Konon, pacuan yang diikuti ratusan kuda ini sudah dilakukan sebelum Belanda menginjakkan kaki di Indonesia.
Pacuan Kuda Gayo merupakan tradisi turun temurun masyarakat Gayo untuk menyambut dan merayakan masa panen, yakni antara Agustus dan September. Berawal dari budaya turun temurun, kegiatan ini menjadi salah satu daya tarik wisata di Gayo.
Dilihat dari potensi sport tourism dengan kearifan lokal di Indonesia, bukan tidak mungkin jika jenis pariwisata ini dapat memberikan dampak positif bagi pemulihan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia.