Travelling Indonesia – Lom plai merupakan ritual pesta panen suku Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing, Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Ketika ritual adat lom plai tiba waktunya, para warga suku Dayak Wehea akan larut dalam kesibukan, bahu-membahu mempersiapkan segala kebutuhan untuk berlangsungnya upacara.
Tak hanya warga desa, acara juga akan dihadiri oleh para tamu dari berbagai kampung. Para warga seakan berlomba untuk menyambut tamu, kerabat, atau orang-orang yang sekadar datang untuk menyaksikan upacara adat yang unik ini.
“Panenku telah datang, warga pun kini tak lagi kelaparan. Terima kasih padamu Dewi Padiku. Kini kupersembahkan sebuah pesta sebagai wujud rasa syukurku dan terima kasih kepadamu,” terang Kepala Suku Adat Dayak Wehea, Ledjie Taq.
Ledjie Taq pun sedikit mengisahkan sejarah lom plai. Dewi Padi atau Long Diang Yung dulunya adalah seorang putri cantik jelita anak semata wayang dari Ratu Dayak Wehea, Diang Yung. Putri tersebut sengaja dikorbankan dengan cara disembelih, untuk menyelamatkan warganya yang menderita kelaparan akibat kemarau berkepanjangan.
Kisah tersebut hingga kini menjadi legenda. Sehingga tiap tahun usai panen, masyarakat adat Wehea selalu menggelar lom plai. Masyarakat Dayak Wehea percaya dengan pengorbanan Putri Long Diang Yung dapat membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh manusia.
Menurutnya, untuk menentukan tanggal pelaksanaan perayaan lom plai, ketua adat dan para tetua adat bersama-sama merumuskan dengan cara melihat posisi bulan di langit. Konon umumnya dalam kepercayaan masyarakat Wehea ada dua jenis bulan di dunia.
“Tiga jenis bulan itu adalah bulan berkah atau kami sebut bulan baik, bulan naas dan bulan sial. Nah dalam penetapannya, kami memilih bulan baik agar kehidupan kita lebih baik dan hasil panen bisa lebih baik lagi,” ujarnya.
Ada beberapa prosesi dalam rangkaian upacara lom plai. Salah satunya adalah Seksiang, yaitu ritual perang-perangan yang diadakan di atas perahu di Sungai Wehea. Perang-perangan dilakukan oleh para pria yang dibagi ke dalam beberapa kelompok.
Dalam balutan pakaian adat, para peserta membawa rumput gajah sebagai senjata dan perisai sebagai pelindung. Tidak ada kalah dan menang dalam ritual perang-perangan ini. Prosesi seksiang merupakan perlambang jiwa kesatria para pendahulu mereka di masa lalu.
Prosesi kedua adalah peknai yang diisi dengan siram-siraman dan menggoreskan arang pada wajah semua warga termasuk pengunjung yang hadir.
Prosesi selanjutnya adalah dibacakannya mantra dan doa oleh para tetua adat diiringi dengan tarian dan nyanyian para penari hudoq untuk memanggil roh hudoq. Tradisi lom plai pun berakhir ketika para penari hudoq meninggalkan tempat ritual.
Lom plai digelar sebagai bentuk penghormatan terhadap Puteri Long Diang Yung yang mengorbankan dirinya demi warga yang terkena bencana kelaparan. Masyarakat Wehea meyakini sang putri kemudian menjelma menjadi tanaman padi.
Padi jelmaan sang putri diberi nama Plai Long Diang Yung. Padi tersebut dipanen tiada habis-habisnya, hingga dibagikan kepada masyarakat sebagai benih untuk ditanam. Dari hasil tanaman padi, warga tidak lagi kelaparan. Mereka mulai hidup makmur dan sejahtera.
Untuk mengenang hal itu, maka setiap usai panen masyarakat Wehea selalu menggelar upacara lom plai.
Selain itu, lom plai merupakan sebuah ungkapan syukur dari masyarakat Dayak Wehea atas capaian hasil panen yang mereka peroleh dari musim tanam sebelumnya sekaligus sebagai doa agar musim panen berikutnya mendapat hasil yang juga berlimpah.
Tradisi peninggalan leluhur ini terus dilestarikan hingga saat ini. Kini tak hanya warga suku Dayak Wehea dan para tamu undangan, acara turun-temurun yang digelar tahunan ini juga menarik kedatangan para wisatawan, baik nasional maupun mancanegara.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook dan Twitter.