Travelling Indonesia – Masyarakat Kabupaten Buleleng, Bali memiliki tradisi turun-menurun yang dapat berfungsi sebagai media pembangun kekerabatan dan persahabatan bernama nyakan diwang. Tradisi menanak nasi di luar rumah ini dilaksanakan sebagai bentuk pembersihan rumah, terutama penyepian dapur, dalam rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi.
Nyakan diwang berasal dari dua kata, yaitu nyakan yang berarti memasak dan diwang yang berarti di depan rumah. Tradisi ini dilaksanakan sebagai bentuk pembersihan rumah dan wujud syukur setelah melaksanakan catur brata Nyepi, berupa amati geni (tidak menyalakan api), amati lelanguan (tidak bersenang-senang), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati karya (tidak bekerja).
Nyakan diwang dimulai dini hari, tepatnya sekitar pukul 2-3 pagi. Pada jam itu, warga mulai melakukan persiapan ngambak geni (menyalakan api) dan serentak ke luar dari rumah. Ngambak geni dilakukan dengan menyiapkan tungku api yang terbuat dari batu bata atau batako di depan rumah.
Selanjutnya, warga mulai memasak nasi serta lauk-pauk, sambil bercengkerama dengan tetangga. Setelah prosesi masak-masak, warga umumnya menunjungi tetangga sekitar pukul 4 pagi. Kegiatan ini dilakukan di sela-sela menanak nasi.
Tradisi nyakan diwang dilakukan hampir bersamaan di desa-desa di Kecamatan Banjar, seperti Desa Dencarik, Desa Banjar, Desa Banyusri, Desa Kayuputih dan Desa Banyuatis serta sejumlah desa lainnya.
Pada pelaksanaan tradisi ini, seluruh warga akan keluar rumah memadati jalan desa. Biasanya nuakan diwang dilakukan di pintu masuk halaman rumah warga, di pinggir jalan sepanjang jalan di desa. Keramaian dan keriuhan warga memberikan suasana yang menarik setelah sehari sebelumnya masyarakat melaksanakan catur brata Nyepi.
Peralatan yang digunakan memasak sangat sedehana. Umumnya masyarakat desa menanak nasi di atas tungku batu bata dengan kayu bakar. Namun ada juga yang memasak dengan kompor minyak tanah atau kompor gas.
Ada warga yang memasak sajian lengkap, dari kopi, jajanan, bubur, nasi hingga lauk-pauk untuk dinikmati atau dicicipi bersama. Namun ada juga masyarakat yang hanya memasak beberapa jenis makanan saja, dan bahkan ada yang tidak memasak. Mereka semua berbaur bersama untuk saling mencicipi dan bersenda gurau dengan warga lainnya.
Tradisi turun-temurun yang masih lestari ini berperan sebagai media pembangun kekerabatan dan persahabatan, serta penyucian lingkungan dapur masing-masing keluarga, sehingga kebahagiaan keluarga dapat terjaga.
Bagi masyarakat Bali, pelaksanaan tradisi ini juga merupakan implementasi dari filosofi Tri Hita Karana, yaitu pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, dengan sesama manusia, dan dengan alam.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.