Travelling Indonesia – Celurit atau Clurit bukan sekadar senjata tradisional khas dari Madura, Jawa Timur. Namun tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi masyarakat Madura. Celurit juga dianggap sebagai simbol kejantanan laki-laki.
Menurut Budayawan D. Zawawi Imron, senjata Clurit memiliki filosofi, dari bentuknya yang mirip tanda tanya, bisa dimaknai sebagai satu bentuk kepribadian masyarakat Madura yang selalu ingin tahu.
Ada penafsiran lain yang menyatakan bahwa celurit itu bentuknya bengkok, mirip dengan tulang rusuk manusia yang memiliki kekurangan. Karena itu agar kejantanan laki-laki tidak berkurang maka mengganti tulang rusuk yang hilang itu dengan celurit yang diselipkan di pinggang bagian kiri.
Mien A. Rifai menyebut Celurit sebagai identitas orang Madura. Kemanapun orang Madura pergi tidak terlepas dari celurit.
Celurit diakui sebagai senjata tradisional Madura diketahui masih relatif baru, yaitu pada masa Hindia Belanda atau sekitar abad ke-18.
Jenis Celurit
Celurit Takabuwan
Ada beberapa macam jenis celurit, di antaranya takabuwan, yang biasanya digunakan untuk carok, yaitu perkelahian yang biasanya dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Carok dan celurit ibarat mata uang logam dengan dua gambar. Istilah ini terus bermetamorfosa hingga 1970-an. Carok telah mengalami pembengkokan makna, dari mekanisme penegakan harga diri menuju ritus balas dendam dan penyaluran agresi semata-mata.
Celurit untuk carok permukaannya sangat halus dan putih mengkilap yang menandakan tingkat ketajamannya sangat tinggi. Takabuwan adalah jenis celurit yang sangat diminati oleh banyak orang Madura, khususnya di kawasan Madura Barat. Nama Takabuwan berasal dari nama desa pembuatannya, Takabu. Selain bentuknya cukup bagus, tingkat ketajamannya dapat diandalkan karena terbuat dari bahan baja campuran besi berkualitas baik.
Celurit Dhang Osok
Jenis celurit yang lain adalah Dhang Osok berbentuk seperti buah pisang (gedhang = pisang), biasanya bukan untuk keperluan rumah tangga melainkan untuk alat pertahanan diri, yang hanya ditaruh di rumah karena bentuknya melebihi ukuran celurit pada umumnya sehingga tidak dapat dibawa bepergian.
Demikian pula Bendho, Bhirang atau Biris yang menyerupai pisau besar (parang), hanya sebagian kecil ujungnya saja yang melengkung, koner, larang dan tumbak (tombak).
Ada lagi yang disebut tekos bu-ambu (bentuknya seperti tikus sedang diam), Bulu Ajem (bulu ayam, lancor ayam), atau yang bergagang sangat panjang disebut Lancor dan Calo. Sedangkan Sabit atau Tane, yang bentuknya lebih sederhana biasanya digunakan sebagai alat pertanian.
Legenda Pak Sakerah
Sejarah asal mula celurit sejatinya masih abu-abu. Yang ada justru cerita legenda dari Pasuruan yang bukan berasal dari Madura. Konon seorang mandor tebu bernama Sakerah melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda menggunakan celurit yang biasanya hanya digunakan sebagai alat pertanian.
Sakera yang bernama asli Sadiman adalah golongan ningrat yang di sebut dengan kalas MAS, berlatar belakang Islam yang amat sholeh dan pekerja keras.
Profesinya sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja, sehingga dijuluki Pak Sakera. Sakera adalah pejuang yang anti penjajahan.
Belanda tidak menyukai keberadaan pak Sakera, karena Sakera sangat menentang adanya penjajahan. Oleh karena itu Belanda memiliki niat buruk untuk menfitnah Sakera dengan celuritnya. Yaitu dengan membagikan celurit pada seluruh penjahat di daerah Madura.
Alhasil para penjahat di Madura menggunakan celurit untuk merampok, menindas dan membunuh. Dengan begitu tercemarlah nama Sakera dan celuritnya. Dengan politik licik yang dilakukan Belanda, maka sejak saat itu citra Sakera dan celuritnya menjadi buruk.
Celurit Simbol Perlawanan
Kemudian Pak Sakera dihukum mati, warga Pasuruan yang mayoritas berdarah Madura marah dan mulai berani melakukan perlawanan pada penjajah dengan senjata andalan berupa celurit.
Sehingga celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri serta strata sosial.
Mirisnya, dampak politik Belanda kala itu masih memberikan pengaruh besar hingga kini. Sebagian besar masyarakat menilai etnis Madura adalah pribadi yang kasar, seiring dengan keberadaan celurit yang identik dengan kekerasan.