Travelling Indonesia – Sebagai salah satu kota terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak, Samarinda dihuni oleh berbagai macam suku bangsa mulai dari suku Dayak Kutai, Dayak Banjar, Bugis, Jawa, hingga Madura.
Meskipun begitu, adat istiadat yang saat ini masih sering dilakukan warga Samarinda, Kalimantan Timur merupakan upacara yang berasal dari suku Dayak Kutai.
Seperti yang telah kita ketahui, Dayak merupakan suku asli Kalimantan dengan akar budaya yang kuat. Tidak heran hingga saat ini ritual adat khas Dayak masih sering ditemui dan lihat.
Satu di antaranya adalah ritual Beluluh yang merupakan upacara penyucian Sultan dan Putra Mahkota.
Beluluh sendiri berasal dari kata buluh yang berarti batang bambu dan luluh yang berarti musnah.
Buluh mengacu pada singgasana yang diduduki Sultan dan putra mahkota berupa balai bambu bertingkat tiga.
Upacara ini dipercaya dapat menghancurkan segala unsur negatif di sekitar keluarga kesultanan, karena itu pada balai yang diduduki Sultan disediakan peduduk (sejenis sesajian) dan tambak karang yang nantinya akan dimusnahkan sebagai simbol pe-luluh-an unsur negatif.
Sejarah Ritual Beluluh
Seperti halnya di daerah lain di Indonesia, upacara adat menjadi sebuah momentum untuk menyampaikan harapan dan keinginan kepada Yang Maha Kuasa.
Upacara adat ini merupakan sebuah simbolisasi terhadap harapan orang tua yang terucap lewat mantra supaya yang diluluh bisa mendapatkan keselamatan serta kebijaksanaan sebagai manusia.
Upacara adat tersebut tercetus dari sebuah riwayat di Tanjung Ruwana Kutai pada 1300. Di mana ketika itu muncul bayi perempuan yang kelak merupakan permaisuri sang raja pertama Kutai, Adji Batara Agung Dewa Sakti.
Diharapkan setiap orang yang mengikuti upacara ini bisa menjadi suci kembali seperti layaknya bayi yang baru dilahirkan ke bumi.
Dalam prosesi Beluluh, dipimpin oleh seorang belian yang berperan untuk mengucapkan doa, memohon kepada Yang Maha Kuasa guna membersihkan diri dari unsur-unsur jahat, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, diluluhkan di atas buluh atau bambu.
Biasanya, ritual beluluh dimulai dengan mendudukkan sejenak pemimpin di atas tilam kasturi. Tak berapa lama, pemimpin akan bangkit dan menaiki balai bambu dengan memijak pada pusaka batu tijakan. Pemimpin ini kemudian duduk di bagian tertinggi dari balai, di bawah ikatan daun beringin (rendu) dan dipayungi selembar kain kuning yang disebut kirab tuhing.
Setelahnya, dilakukan prosesi tepong tawar. Pada prosesi ini, dewa (wanita pengabdi ritual) memercikkan air kembang ke sekeliling Pemimpin. Selanjutnya, pemimpin mengusap kepalanya dengan air tersebut dan dewa akan menaburkan beras kuning ke arah pemimpin.
Usai tepong tawar selesai, dilakukan prosesi menarik ketikai lepas. Ketikai lepas adalah sejenis anyaman dari daun kelapa yang akan terurai jika ditarik kedua ujungnya. Pada ritual ini, pemimpin akan memegang salah satu ujung dari anyaman daun tersebut, sedangkan ujung lainnya akan ditarik oleh seorang tamu kehormatan – yang biasanya pejabat daerah atau orang yang ditunjuk khusus oleh kerabat pemimpin. Prosesi ini menjadi penutup dari beluluh.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook dan Twitter.