Travelling Indonesia – Bengkulu memiliki hutan yang luas, tercatat pada 1945 luas hutan yang ada di Provinsi Bengkulu yakni 1.200.000 hktare. Luas hutan yang demikian telah memungkinkan untuk ketersediaan bahan baku kulit lantung tersebut.
Biasanya bahan baku kulit lantung berada di sela-sela pepohonan lainnya yang tumbuh liar. Untuk mencari dan membedakan dengan jenis pohon lainnya, pencari pohon lantung memiliki keahlian tersendiri.
Kulit pohonnya yang tebal dan memiliki serat, dengan lebar sekitar 1 (satu) sampai 3 (tiga) centimeter dan panjang pohon sekitar 5 (lima) sampai 7 (tujuh) meter. Pohon lantung yang baik biasanya berumur 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun, semakin tua umurnya semakin baik kualitas kulit yang akan dibuat kain lantung tersebut.
Pembuatan Kain Lantung
Peralatan yang digunakan dalam mengambil kulit lantung tersebut yakni parang, dan pisau. Parang digunakan untuk memotong pohon lantung tersebut. Setelah pohon lantung rebah, lalu dibersihkan daunan dan ranting yang melekat pada pohon lantung tersebut.
Langkah selanjutnya adalah memarut pohon lantung dan mengambil kulitnya dengan bantuan pisau. Pisau ditorehkan ke batang pohon dan mengelupaskan kulit pohon lantung.
Kulit lantung yang dikelupaskan biasanya berukuran 1 meter x 50 centimeter, dan ada juga berdasarkan pesanan. Untuk membuat kain dari kulit lantung, ukuran kulit lantung yang dikelupas dari pohon lantung biasanya berukuran 1 meter x 30 centimeter.
Kulit lantung yang telah dikelupaskan dari pohon lantung tersebut kemudian dikumpulkan dan diikat lalu dibawa pulang ke rumah.
Sebetulnya, kulit lantung yang telah sampai di rumah belum bisa begitu saja dipergunakan sebagai kain. Si pembuat kain lantung harus terlebih dahulu memisahkan kulit lantung yang dibawa dari hutan tersebut dan kemudian memukulnya dengan perikai.
Perikai adalah sejenis alat pukul yang terbuat dari tanduk kerbau atau jenis kayu keras dengan ukuran panjang dan besarnya lebih 40 x 10 centimeter. Alat ini biasanya dibuat sendiri oleh pembuat kain lantung.
Bahannya biasanya mereka ambil dari pohon yang berada dalam hutan yang ada disekitar mereka ataupun waktu mereka mencari kulit lantung tersebut. Kulit lantung tersebut dipukul dengan perikai tersebut sampai tipis.
Setelah kulit lantung menjadi tipis, untuk menentukan kulit lantung tipis atau belum biasanya pembuat kain lantung hanya berdasarkan kepada kondisi kulit lantung yang dipukul dengan perikai tinggal serat-serat kulitnya saja. Langkah selanjutnya yakni menjemur kulit lantung yang terdiri dari serat tipis tersebut dibawah terik matahari.
Biasanya menjemur kulit lantung tersebut sekitar 1 (satu) minggu dengan kondisi cuaca yang panas. Semakin lama penjemuran menghasilkan kulit lantung yang baik begitu juga sebaliknya. Tidak ada motif atau ragam hias dalam membuat baju dari kulit lantung ini.
Mereka hanya berprinsip untuk memutup aurat dan melindungi tubuh dari udara dingin. Begitu juga dengan selimut dan tali pengikat dari kulit lantung ini. Seperti yang dituturkan oleh Bustami: Tidak ada motif atau ragam hias yang dibuat pada waktu itu, hanya saja membuat kain dari kulit lantung guna menutupi aurat dan melindungi tubuh.
Masyarakat mempergunakan ini karena harga bahan kain waktu itu mahal.? Kendatipun demikian halnya, membedakan kain dari kulit lantung yang dipakai oleh laki-laki dan perempuan memang ada, yakni kain laki-laki biasanya membuat pola celana dan baju, sedangkan perempuan membuat rok dan baju yang menutupi seluruh anggota tubuh.
Anehnya, dalam segi celana dalam mereka pada umumnya tidak mempergunakan kain lantung tapi terbuat dari kain dril, biasanya mereka peroleh dari tukang jahit dan mereka beli langsung di pasar dengan celana dalam yang sudah bisa langsung dipakai.
Sangat sulit untuk menjelaskan tentang sistem pemasaran kulit lantung tersebut, pertama minimnya data untuk menjabarkan hal tersebut karena berkaitan dengan data pada masa pendudukan tentara Jepang sulit dan langka untuk diakses.
Kendatipun demikian, sumber lisan untuk menjabarkan hal ini sangatlah membantu. Menurut informasi Bustami, tidak ada sistem pemasaran yang baku pada waktu itu.
Masyarakat hanya mencari dan membuat langsung kain lantung dari kulit lantung tersebut. Orientasi pengembangan ekonomi penguasa fasisme Jepang, lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya dalam menghadapi perang Asia Pasifik.
Oleh sebab itu pemerintahan fasisme Jepang menekankan kepada masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan akan bahan pangan.
Agar maksudnya itu dapat berjalan, sesuai dengan tujuan dikeluarkannya kebijakan ekonomi perang Jepang, maka fasisme Jepang mengambil beberapa langkah-langkah untuk dapat memperoleh dan menutupi kekurangannya baik dalam bidang pangan dan maupun militer, langkah-langkah tersebut antara lain: Langkah pertama, Jepang menguasai seluruh sektor ekonomi termasuk bidang pertanian.
Langkah kedua, yaitu Jepang memberikan penyuluhan terhadap petani untuk meningkatkan hasil pertanian khususnya padi, dengan mengunakan tenaga-tenaga ahli pertanian.
Langkah ketiga, Jepang melakukan monopoli pembelian dalam menentukan harga dari suatu jenis barang dan melakukan penumpukan bahan sandang di gudang sehingga rakyat sulit memperoleh bahan pakaian. Guna memenuhi bahan sandang tersebut, masyarakat menggantinya dengan mempergunakan kulit kayu sebagai bahan pakaian yang dikenal pada waktu itu dengan lantung, di Sumatra Barat dikenal dengan tarok.
Selain itu, Jepang melarang masyarakat menyimpan uang lebih dari Rp100 kecuali mata uang Rp10 dan Rp5. Dengan sendirinya hanya sebagian kecil saja yang mampu untuk membeli pakaian.u
Kain lantung digunakan masyarakat Bengkulu sebagai bahan pakaian selama masa penjajahan Jepang. Kain ini dibuat ketika kehidupan masyarakat Bengkulu sedang sangat sulitnya sejak 1943 di bawah pendudukan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang, keadaan rakyat Bengkulu sangat berat. Ekonomi terpuruk. Rakyat mendapat tekanan besar dari tentara Nippon. Begitu sulitnya kehidupan rakyat Bengkulu hingga mereka tidak sanggup membeli kain drill untuk pakaian.
Dengan kondisi tersebut, rakyat Bengkulu pun mencari cara untuk membuat pakaian sebagai pelindung tubuhnya. Mereka kemudian menemukan cara kreatif dengan menjadikan kulit kayu sebagai bahan kain. Ketika itu, kulit kayu masih sangat mudah didapatkan di kawasan Bengkulu yang memiliki wilayah hutan yang luas.
Di masa kemerdekaan, kain dari kulit kayu ini tidak lagi digunakan sebagai bahan pakaian. Namun, karena besarnya nilai historis kain ini, masyarakat Bengkulu berupaya melestarikannya.
Saat ini, kain lantung dijadikan bahan cendera mata khas Bengkulu, misalnya tas, dompet, sandal, tempat tisu, topi, dan sebagainya. Pada 2015, kain lantung ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Provinsi Bengkulu.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.