Travelling Indonesia – Makassar memiliki sejenis tarian api yang bernuansa Islami dan digunakan sebagai sarana dakwah. Tarian itu berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan, namanya Pepe’-pepeka ri Makka.
Selalu menarik jika menelusuri ruang beririsan antara kepercayaan dan seni budaya yang melingkupi kehidupan. Salah satunya berada di Kampung Paropo dan Kampung Sero, Makassar yaitu komunitas yang masih merawat kesenian tersebut.
Tari Pepe’-pepeka ri Makka mirip dengan fire dance di Hawaii ataupun Tarian Api di Bali. Tarian ini merupakan warisan budaya agraris suku Makassar. Pada masa silam, tari api ini merupakan bagian dari ritual pascapanen.
Sejarah Pepe’-pepeka ri Makka
Seiring penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17, tari Pepe’-pepeka ri Makka berkembang menjadi permainan rakyat, dan digunakan sebagai media dakwah.
Saat itu, kesenian merupakan sarana dakwah yang umum digunakan agar agama Islam mudah diterima oleh masyarakat lokal di wilayah Nusantara.
Pepe’-pepeka ri Makka berasal dari kata pepe’ yang berarti api, ri berarti di, dan Makka berarti Makkah. Gerakan tarian ini mengilustrasikan kisah Nabi Ibrahim AS, yang atas kehendak Allah SWT, tak mempan dibakar api.
Sedangkan syairnya menggunakan bahasa Bugis-Makassar, berisi tentang kekuasaan dan keagungan Tuhan yang Maha Esa.
Syair Pepe’-pepeka ri Makka
Sedikit gambaran, definisi ini dapat merujuk pada syair lagu yang dilantunkan oleh penari, bunyinya:
Pepe’-pepeka ri Makka, Lanterayya ri Madina, Ayya Allah parombasai natakabbere’ dunia.
Artinya: Api di tanah suci Makkah, Lentera di tanah Madinah, Ya Allah kobarkanlah hingga seluruh dunia bertakbir.
Potongan syair yang mengiringi tarian Pepe’-pepeka ri Makka di atas juga diyakini sebagai sumber kekuatan para penari. Terminologi “kekuatan” pun merujuk pada aspek historis yang melingkupi tarian ini.
Pemaknaan Pepe’-pepeka ri Makka
Konon, ritme-ritme estetik dari gerak hingga syair yang dilantunkan adalah upaya mengilustrasikan kisah Nabi Ibrahim AS, yang atas kehendak Allah, bisa berdamai dengan api, tak terlahap sama sekali.
Penelitian “Pesan Dakwah dalam Pepe’-pepeka ri Makka pada Masyarakat Kampung Paropo, Kota Makassar” mengulas aspek historis hingga simbolik tarian ini dengan menemui informan yang kredibel juga menelusuri banyak literatur.
Penelitian ini menarasikan relasi gerak estetik Pepe’-pepeka ri Makka dan agama mayoritas yang dianut masyarakat Sulawesi Selatan dengan membaca keseluruhan atribut yang digunakan oleh penari dan narasi historis yang membangunnya.
Hasilnya, gerak tubuh para penari Pepe’-pepeka ri Makka berelasi dengan upaya pengungkapan perasaan, maksud, dan pikiran orang-orang Makassar terdahulu yang kompak dan bersemangat dalam memperjuangkan kedaulatan bersama dan dalam upaya menyebarkan agama islam.
Tarian Pepe’-pepeka ri Makka cukup berbeda dengan tarian-tarian pada umumnya. Tarian ini pada dasarnya tidak memiliki pola gerakan dan pola lantai yang paten atau baku dalam setiap penampilannya. Pola teratur yang ditampilkan hanya ditemukan di awal ketika muncul pertama kali lalu berputar-putar sambil bersenandung indah dalam bahasa Makassar.
Metamorfosa tarian Pepe’-pepeka ri Makka yang tadinya lebih banyak besingungan dengan ritual-ritual sakral misalnya dalam maudu’ lompoa (Maulid Nabi Muhammad S.A.W) juga dapat dimaknai sebagai ruang alternatif kreatifitas masyarakat untuk terus menghidupkan identitas kultural mereka.
Meski tarian ini adalah bagian dari pergolakan sejarah kebudayaan di Sulawesi Selatan, namun upayanya untuk terus eksis telah mengonfirmasi narasi kekayaan bahasa keseniaan di Indonesia.
Unsur Magis Pepe’-pepeka ri Makka
Tari Pepe’-pepeka ri Makka memperlihatkan kekuatan magis yang dimiliki para penarinya dalam menjinakkan api. Para pemain bermain api, tetapi tak merasakan panas. Pakaiannya pun tak terbakar. Ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi yang menyaksikan pertunjukan tersebut.
Para penari mengenakan baju adat. Alat musik pengiring yang digunakan terdiri atas gendang, gambus biola khas Makassar, dan rebana. Selama pertunjukan, seorang penyanyi terus melantunkan syair bernuansa Islami.
Tarian ini berdasarkan adat kebiasan dan sebagai ikon budaya di kampung Paropo yang bersifat tradisional dan dimainkan pada saat menyambut pesta panen dalam acara Attontong Bulang (bulan purnama) dan Maudu’ Lompoa (peringatan Maulid Nabiyyullah Muhammad SAW).
Pertunjukan tradisional ini masih lestari hingga sekarang. Bahkan bisa ditampilkan juga dalam upacara hajatan, seperti sunatan dan perkawinan.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami Instagram, Facebook dan Twitter.