Travelling Indonesia – Betawi memiliki pertunjukan tutur bernama Sohibul Hikayat. Kisah-kisah yang dibawakan berasal dari Timur Tengah, antara lain bersumber pada cerita Seribu Satu Malam. Seni tutur ini merupakan perpaduan tradisi lisan betawi dan dakwah Islam.
Pertunjukan tutur ini berkembang di Betawi daerah tengah atau Betawi kota, antara lain di Tanah Abang, Salemba, Kebon Sirih, Kemayoran, dan Mampang Prapatan. Juru hikayat yang terkenal pada masa lalu antara lain haji Ja’far dan Haji Ma’ruf. Kemudian ada Mohammad Zahid yang terkenal dengan sebutan ”wak Jait”.
Shohibul Hikayat berasal dari bahasa Arab, artinya yang empunya cerita. Pencerita Sohibul Hikayat disebut sebagai tukang cerita, juru cerita, atau juru hikayat. Mereka mahir dalam membawakan kisah.
Kisah yang dibawakan dalam bentuk prosa. Kesenian ini biasanya menjadi bagian perayaan keagamaan, seperti Maulid Nabi dan tahun baru Hijriah atau perayaan daur hidup, seperti kelahiran, sunatan, dan pernikahan.
Sohibul Hikayat dipentaskan dengan cara mendongengkan cerita-cerita yang umumnya kental dengan nilai religi dan digunakan sebagai sarana dakwah. Meski demikian, penceritaan dibuat semenarik mungkin dengan bumbu-bumbu humor untuk memacu antusias penonton.
Sejarah Sohibul Hikayat
Pada era 1970-an sampai awal 1980-an, ketika sohibul hikayat disiarkan secara langsung di radio siaran swasta disiarkan mulai pukul 21.00 sampai 24.00 WIB atau jika bulan Ramadan disiarkan sampai menjelang waktu sahur, itu menjadi program acara yang sangat ditunggu.
Pendengar dengan senang hati begadang menunggu suara Sofyan Jaid yang lembut dan berat. Seru, tegang, kocak, dan bermacam suasana dibangun dalam sebuah cerita. Maka pendengar akan hafal cerita semacam Hayatun Nufus, Nurul Laila, Ma’ruf Tukang Sol Sepatu, Gambus 12, Ahmad Merebut Masjid, atau kisah-kisah lainnya. Bahkan sampi saat ini banyak yang masih ingat bagaimana rupa fisik jin, cara bicaranya, cara jalannya, dan sebagainya atau bagaimana kecantikan seorang putri.
H. Ahmad Sofyan Jaid dilahirkan di kampung Tanah Abang, 3 Desember 1942. Ayahnya, H. Jaid, adalah pesohibul hikayat (tukang cerita) teresohor. Anak ke-4 dari 16 bersaudara ini awalnya tidak begitu tertarik dengan profesi ayahnya yaitu tukang cerita atau sohibul hikayat.
Sebagai bocah yang sering diajak ayahnya keliling untuk mentas, ia mengagumi kemahiran ayahnya dalam menuturkan sebuah hikayat. Terlalu seringnya mengikuti ayah, akhirnya ia tertarik dan mulai mencoba berhikayat meski di lingkungan terbatas. Ayahnya tentu melihat bakat Sofyan kecil. Seraya mengajak Sofyan berkeliling, tempo-tempo ayahnya menyuruhnya tampil membuka cerita. Mulailah Sofyan merasa asyik dengan membawakan sohibul hikayat.
Sepeninggal ayahnya pada akhir tahun 1969, Sofyan yang alumni Madrasah Jamiat Kheir, Tanah Abang ini mulai menekuni profesi sohibul hikayat. Lelaki yang selalu tampil rapi dan necis ini menikah tahun 1962 dengan Siti Zubaedah dan telah dikaruniai 6 putri. Ia boleh dibilang seniman sohibul hikayat satu-satunya alias semata wayang yang dimiliki Betawi.
Dalam setiap kesempatan Sofyan selalu menghimbau generasi muda untuk mencoba menggeluti tradisi sohibul hikayat. Diakuinya bahwa sohibul hikayat pun tidak kalah kelasnya dengan kesenian lain, jika ditekuni secara total dan penuh kecintaan. Buktinya ia dapat menyekolahkan ke enam putrinya dari hasil bersohibul hikayat saja.
Tradisi bercerita bagi masyarakat Betawi telah dikenal sejak dulu kala. Apa yang disebut buleng dan juga ngerahul telah menjadi santapan sehari-hari. Buleng atau ngebuleng sebenarnya identik dengan sohibul hikayat. Bedanya cuma pada tema cerita. Jika sohibul hikayat mengambil tema cerita dari Timur Tengah atau Parsi, buleng mengambil tema lokal.
Tetapi buleng bernasib kurang baik dalam perkembangannya. Ia tiba-tiba hilang begitu saja tanpa ada generasi yang melanjutkannya. Sementara itu ngerahul dianggap hanya sebagai hiburan pengisi waktu luang yang tidak ada ujung pangkalnya dalam penyampaian cerita. Ngerahul tidak lain adalah ngerumpi.
Peran sohibul hikayat atau dalam hal ini H. Sofyan Jaid yang paling terasa adalah pewarisan nilai-nilai tradisi Betawi (agama, sopan-santun, saling mencintai, menghormati, dan sebagainya) dan penyebarluasan bahasa Betawi (ungkapan, pribasa kata, dan sebagainya). Simaklah jalan cerita yang dibawakan H. Sofyan Jaid, niscaya berhamburan apa yang disebut bahasa, ungkapan, dan pribahasa kata Betawi.
Agar tidak tergerus zaman, Sohibul Hikayat dan Ngebuleng mulai dilestarikan oleh generasi Betawi selanjutnya, seperti Yahya Andi Saputra dan Bang Suaeb Mahbub, budayawan Betawi dari Jakarta Utara. Bang Yahya akan menampilkan Sohibul Hikayat, dan Bang Suaeb Ngebuleng.
Pada masa ini, keberadaan cerita lisan Sohibul Hikayat diambang kepunahan. Untuk mempertahankannya, sebagian besar karya lisan tersebut telah ditulis agar tetap bisa diakses oleh generasi mendatang.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.