• Cyber Media News Coverage Guidelines
  • Management
  • About Us
  • Contact Us
Travelling Indonesia
Advertisement
  • HOME
  • DESTINATION
  • SPORT TOURISM
  • FOOD
  • ART & CULTURE
  • HOTEL
  • TRAVEL
  • EVENT
  • MERCHANDISE
  • HITS
No Result
View All Result
  • HOME
  • DESTINATION
  • SPORT TOURISM
  • FOOD
  • ART & CULTURE
  • HOTEL
  • TRAVEL
  • EVENT
  • MERCHANDISE
  • HITS
No Result
View All Result
Travelling Indonesia
No Result
View All Result
Home Art & Culture

Malabot Tumpe, Upacara Syukuran Telur Maleo

Austin Devon by Austin Devon
January 23, 2023
in Art & Culture
Malabot Tumpe, Upacara Syukuran Telur Maleo

Malabot Tumpe - Dok. Banggai Raya

Share on FacebookShare on Twitter

Travelling Indonesia – Molabot atau Malabot Tumpe adalah upacara syukuran atas panen telur maleo (Macrocephalon maleo Sal.Muller). Tradisi ini sudah dilakukan masyarakat Banggai, Sulawesi Tengah, secara turun-temurun sejak zaman Kerajaan Banggai dipimpin oleh Raja Mandapar.

Malabot Tumpe merupakan upacara adat tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat di dua kerajaan, yaitu Kerajaan Banggai dan Kerajaan Matindok (Batui). Tumpe atautumbe berarti sesuatu yang pertama atau awal, sedangkan malabot atau molabot berarti penyambutan.

Pada ritual adat ini, masyarakat adat Batui di Kabupaten Banggai mengantarkan telur maleo ke keraton Kerajaan Banggai di Kabupaten Banggai Laut. Upacara adat ini menjadi cermin ikatan persaudaraan masyarakat Banggai di Provinsi Sulawesi Tengah.

Malabot Tumpe
Malabot Tumpe.

Burung maleo merupakan burung endemik Sulawesi Tengah yang hidup di kawasan pantai. Populasinya banyak ditemukan di daerah Bangkiriang di Kecamatan Batui. Upacara Malabot Tumpe dilaksanakan setiap tahun saat musim pertama bertelurnya burung maleo, biasanya sekitar bulan September.

Setiap tahun, masing-masing 5 desa, yaitu Dakanyo Ende, Binsilok Balatang, Tolando, Binsilok Katudunan, dan Topundat memberikan telur maleo yang siap diantarkan untuk upacara tumpe. Seiring waktu, karena keberadaan telur maleo yang semakin berkurang, jumlah telur yang dipersembahkan pun semakin sedikit.

Prosesi Upacara

Prosesi upacara Malabot Tumpe diawali dengan pengumpulan telur burung maleo oleh perangkat adat. Setelah terkumpul, perangkat adat membawanya ke rumah ketua adat. Rangkaian upacara adat kemudian digelar dengan doa dan dzikir kepada Tuhan yang Maha Esa.

Perahu dan pengantar telur sudah disiapkan di tepi sungai Batui, biasanya terdiri dari 7 orang, 3 orang pemangku adat yang disebut sebagai ombuwa telur (pembawa telur), dan 4 orang pendayung.

Sebelum diberangkatkan dari Batui ke Banggai, telur maleo dibungkus dengan daun pohon palem biasa disebut daun komunong. Pembawa telur maleo berjalan dan diarak menuju sungai Batui dengan iringan genderang dan dikawal pasukan adat.

Menurut aturan adat masyarakat Batui, warga belum boleh memakan telur burung maleo sebelum telur pertama dipersembahkan ke Banggai dengan upacara Malabot Tumpe.

Sejarah

Alkisah, pada 1500-an, Adi Cokro yang masih berdarah biru dari Kerajaan Kediri di Pulau Jawa datang di Banggai untuk memperdalam agama Islam. Masyarakat Banggai sudah mengenal Islam sejak 1200-an.

Di Banggai, Mbumbu Doi Jawa (Pemuda dari Jawa) yang oleh masyarakat Banggai dipanggil dengan nama Adi Soko itu kemudian menjadi Raja Banggai. Adi Soko lalu menikah dengan putri dari Kerajaan Matindok yang bernama Sitti Aminah.

Pasangan tersebut dikaruniai putra yang diberi nama Abu Kasim. Atas kelahiran Abu Kasim, sang kakek Raja Matindok memberi hadiah sepasang burung maleo.

Setelah sekian lama memimpin Banggai, Adi Soko memutuskan kembali ke kampung halaman di Pulau Jawa tanpa memboyong sang istri dan putra semata wayangnya. Adi Soko hanya membawa sepasang maleo pemberian Raja Matindok.

Kerajaan Banggai pun tanpa pemimpin. Abu Kasim sempat diminta mengganti ayahnya memerintah, tetapi menolak. Abu Kasim kemudian memutuskan berlayar ke Pulau Jawa, mencari ayahnya.

Ketika bertemu, ayahnya menolak kembali ke Banggai. Ia bersikukuh bahwa Abu Kasim-lah yang harusnya memimpin Banggai. Adi Soko lalu menawarkan jalan keluar: tahta diserahkan pada Mandapar, putra dari pernikahan lainnya.

Abu Kasim setuju dengan usul tersebut. Sebelum kembali ke Banggai, Adi Soko menitip sepasang burung maleo karena tidak bisa berkembang biak dengan semestinya di Pulau Jawa.

Tiba di Banggai, Abu Kasim mencari cara mengembangbiakkan burung maleo. Segala cara ditempuh, namun tetap tak berhasil. Sepasang burung maleo tersebut lalu dibawa kembali ke Batui. Sebab, daerah Batui, khususnya Bakiriang, memiliki pasir yang cocok untuk kelangsungan hidup burung maleo.

Abu Kasim berpesan kepada sang kakek Raja Matindok, apabila burung maleo bertelur, telurnya yang pertama tidak boleh dicicipi siapa pun dan harus diserahkan ke Kerajaan Banggai. Perjanjian antara Abu Kasim dan kakeknya inilah yang menghasilkan tradisi Malabot Tumpe.

Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.

Tags: Malabot TumpePeta Wisata IndonesiaSeni dan BudayaSulawesi TengahTravelling Indonesia
Previous Post

Vihara Hok Tek Tjeng Sin Buka 24 Jam Selama Imlek

Next Post

Taman Nasional Taka Bonerate, Terbesar Ketiga di Dunia

Related Posts

Jangkrik Genggong, Gaungkan Wisata Budaya Asal Pacitan
Art & Culture

Jangkrik Genggong, Gaungkan Wisata Budaya Asal Pacitan

May 15, 2025
Festival Tabuik, Upacara Adat Minangkabau di Pantai Pariaman
Art & Culture

Festival Tabuik, Upacara Adat Minangkabau di Pantai Pariaman

April 18, 2025
Alat Musik Rebab, Kesenian Betawi Warisan Budaya Timur Tengah
Art & Culture

Alat Musik Rebab, Kesenian Betawi Warisan Budaya Timur Tengah

April 16, 2025
Tari Melinting, Warisan Budaya Kerajaan Lampung
Art & Culture

Tari Melinting, Warisan Budaya Kerajaan Lampung

April 15, 2025
Tari Busak Baku, Simbol Keindahan dan Harmoni Dayak Lundayeh
Art & Culture

Tari Busak Baku, Simbol Keindahan dan Harmoni Dayak Lundayeh

April 8, 2025
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Pulau Lombok
Art & Culture

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Pulau Lombok

April 7, 2025
Next Post
Taman Nasional Taka Bonerate, Terbesar Ketiga di Dunia

Taman Nasional Taka Bonerate, Terbesar Ketiga di Dunia

Popular

  • Artotel Gelora Senayan Usung Hotel Berkonsep Sport, Seni dan Gaya Hidup

    Artotel Gelora Senayan Usung Hotel Berkonsep Sport, Seni dan Gaya Hidup

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tape Singkong, Kuliner Tradisional Hasil Fermentasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kapal Wisata Tenggelam di Bengkulu, Kemenpar Berikan Himbauan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Wings Air Buka Rute Penerbangan Baru di Sumbagsel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Objek Wisata Pantai Pangandaran Jadi Primadona Sepanjang Libur Waisak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Recent News

Nite & Day Hotel Hadirkan Promo Jelang HUT Kota Semarang

Nite & Day Hotel Hadirkan Promo Jelang HUT Kota Semarang

May 16, 2025
Jangkrik Genggong, Gaungkan Wisata Budaya Asal Pacitan

Jangkrik Genggong, Gaungkan Wisata Budaya Asal Pacitan

May 15, 2025
Daftar Harga Tiket Timnas Indonesia Vs China, Termurah Rp300 Ribu

Daftar Harga Tiket Timnas Indonesia Vs China, Termurah Rp300 Ribu

May 15, 2025
Sate Bulayak, Perpaduan Khas Bumbu Sasak dan Daun Aren

Sate Bulayak, Perpaduan Khas Bumbu Sasak dan Daun Aren

May 14, 2025
Travelling Indonesia

Follow Us

  • Cyber Media News Coverage Guidelines
  • Management
  • About Us
  • Contact Us

All Rights Reserved by travellingindonesia.com © 2022

No Result
View All Result
  • HOME
  • DESTINATION
  • SPORT TOURISM
  • FOOD
  • ART & CULTURE
  • HOTEL
  • TRAVEL
  • EVENT
  • MERCHANDISE
  • HITS

All Rights Reserved by travellingindonesia.com © 2022