Travelling Indonesia – Masyarakat Madura rupanya memiliki cara tersendiri untuk menyeimbangkan antara alam makro (semesta) dan alam mikro (diri). Dalam rangka itu, tradisi rokat (di Jawa disebut ruwat) dijadikan medium untuk merepresentasikan upaya tersebut.
Menurut cerita turun-temurun, tradisi rokat berangkat dari kesadaran masyarakat Madura mengenai ketidakmampuan mereka dalam melihat apa yang akan terjadi kepada dirinya di masa yang akan datang, terutama dalam kaitannya dengan penderitaan, bencana, mara bahaya, penyakit atau sejenisnya.
Segala jenis penderitaan tersebut diyakini bisa menghampiri manusia setiap saat. Ketidakmampuan ini membuat masyarakat Madura cenderung mencari petunjuk agar dirinya terlindungi dari sesuatu yang tak diinginkan terjadi.
Melalui rokat, orang Madura berharap dapat terhindar dari semua hal-hal negatif tadi dengan meminta “berkah” nenek moyang yang mereka yakini masih bisa dimintai pertolongan. Karena itu, roh-roh leluhur itu perlu disapa kerabatnya yang masih hidup melalui sebuah upacara.
Lambat laun, sejalan dengan pesatnya perkembangan Islam di Madura, masyarakat mulai menyadari adanya unsur-unsur yang dinilai musyrik dalam praktiknya. Karena alasan itu, tradisi ini kemudian mengalami proses islamisasi. Dengan perkembangan tersebut, sampai kini, rokat cenderung menjadi ritus yang tidak ditentang oleh masyarakat Muslim Madura.
Rokat yang sudah bertransformasi menjadi tradisi islami, dalam pelaksanaannya melibatkan doa-doa berisi pengharapan terhadap pertolongan Tuhan. Meski demikian, arwah para leluhur masih dilibatkan sebagai perantara untuk mengomunikasikan hajat tadi. Hal ini dilakukan karena roh-roh itu diyakini berada di alam lain yang dekat dengan Tuhan.
Upacara adat Madura ini bisa diadakan baik untuk kepentingan pribadi (individual) maupun untuk kepentingan masyarakat umum (komunal). Pelaksanaan upacara yang diadakan untuk kepentingan bersama dilakukan secara kolektif.
Salah satu rokat yang bersifat individual adalah rokat pandhaba (pandawa). Upacara ini dilakukan karena beberapa alasan penting, misalnya kelahiran orang-orang yang dinilai masuk pada kategori pandhaba macan dengan ciri-ciri kembar semisal pandhaba panganten (laki-perempuan), pandhaba lema’ (lima bersaudara laki semua), pandhaba tanges (salah satu dari lima bersaudara meninggal dunia), atau pandhaba eret (lima bersaudara: empat laki satu perempuan atau empat perempuan satu laki). Upacara ini penting dilakukan agar manusia yang lahir dengan salah satu dari kategori tersebut bisa terhindar dari hal-hal negatif.
Jenis rokat yang bersifat komunal (koletif) ada beberapa macam. Ada rokat tase’ atau disebut juga dengan “petik laut”. Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan syukur masyarakat nelayan pesisir atas hasil tangkapan mereka, juga sebagai doa agar terhindar dari melaratnya tangkapan.
Kemudian, rokat bhume atau pakarangan sebagai bentuk pengharapan masyarakat pedalaman yang bercocok tanam atau bertani agar mendapatkan kesejahteraan dari panen yang baru saja mereka dapatkan, serta agar terhindar dari penyakit atau hama tanaman.
Lalu ada rokat dhisa sebagai bentuk pengharapan untuk ketenangan, keamanan, atau agar terhindar dari disharmonisasi antarsesama penduduk desa.
Ada juga rokat bheliune sebagai upaya menyudahi kesedihan atau mengembalikan kebahagian seperti sedia kala setelah salah satu keluarga menemui ajalnya, dan agar keluarga yang ditinggalkan tidak menjumpai kemelaratan dalam hal ekonomi (mabheli dhunnya), atau agar harta-benda yang tersisa tidak ikut mati bersamaan dengan mangkatnya salah satu keluarga tadi.
Pelaksanaan upacara adat ini pun tidak sembarang waktu dapat dilakukan. Ada waktu-waktu tertentu yang diyakini akan memberi kemanjuran tersendiri dari doa dan ritual yang dilakukan saat pelaksaan rokat tersebut.
Misalnya, untuk rokat tase’ dilaksanakan pada saat awal-awal panen ikan laut, yaitu sekitar bulan Agustus. Untuk rokat bhume dan rokat dhisa dilaksanakan pada tanggal 1 atau 10 Sora (Muharrom). Sementara untuk rokat bheliune dilaksanakan pada hari ke-7 dari hari kematian.
Untuk bisa melaksanakan upacara adat ini, dibutuhkan beberapa persyaratan, seperti doa dan sesaji atau sajjhin, tergantung jenis rokat yang akan dilaksanakan. Doa yang dibacakan biasanya doa khusus dan yang berhak membacakannya adalah kiai, guru ngaji, atau orang yang dianggap paham mengenai bacaan dalam doa rokat tadi.
Sementara hidangan sesaji antara satu rokat dan lainnya memiliki perbedaan, karena memang maksud upacara ini dilaksanakan juga berbeda. Tiap-tiap hidangan dalam sesaji menjadi simbol yang memiliki makna tersendiri.
Sebagai satu contoh, pada rokat bheliune, ada hidangan-hidangan yang wajib ada pada sesaji, antara lain ayam panggang utuh, pinang, gambir, jerenguh, sirih, kelapa, jarum, dan pisang mentah. Sesaji ini kesemuanya bersifat simbolik yang sarat makna. Ayam panggang utuh misalnya, mewakili harta dan usaha ternak yang ditinggalkan. Pisang dan kelapa mewakili harta atau usaha dari hasil pertanian. Dan seterusnya.
Secara garis besar, upacara adat Madura ini mengajarkan kita bahwa hidup memang selalu diliputi ketidakberdayaan (powerlesness) dan ketidakpastian (uncertainty). Manusia cenderung berlindung kepada sesuatu yang dinilai bisa memberikan rasa aman dan nyaman. Walaupun hal itu mungkin bukan sesuatu yang masuk akal, tapi percaya atau tidak, dengan rokat, manusia Madura berkeyakinan bahwa mereka bisa memiliki harapan akan hidup yang lebih baik di masa depan.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.