Travelling Indonesia – Kain tenun ikat inuh merupakan warisan budaya masyarakat pesisir di Lampung Selatan (beradat saibatin). Tak sekadar sebagai simbol dan identitas budaya, masyarakat Lampung pesisir meyakini kain tenun tradisional ini sebagai kain sakral.
Kain inuh mulanya hanya dipakai perempuan pada acara pernikahan. Perempuan yang memakainya harus istri dari laki-laki tertua dalam keluarga. Di masa itu, tidak semua wanita bisa memakai kain inuh.
Inuh dibuat dari bahan benang sutera. Pewarnaannya menggunakan teknik celup tradisional. Pembuatan inuh dilakukan dengan teknik tenun ikat, yaitu kain yang proses pembentukan motifnya dilakukan melalui pengikatan benang-benang.
Baca:
- Semangat Baru Hiasi Kiprah Hotel Grand Mercure Solo Baru
- Lawa Bale, Masakan Khas Bugis di Kabupaten Wajo
- Kemolekan Kampung Adat Prailiu di Sumba Timur
Selain kain inuh, masyarakat setempat juga memiliki tenun ikat bidak galah napuh yang dipakai hanya untuk acara adat, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Perbedaan kedua kain tenun ini terletak pada motifnya. Kain inuh memiliki motif lebih beragam berupa tumbuhan, kapal, dan rumah tradisional. Sementara tenun bidak galah napuh bermotif bintik-bintik kecil yang diambil dari model kulit hewan. Napuh adalah sejenis hewan seperti kancil yang memiliki bintik-bintik kecil pada bagian leher.
Untuk mengenalkan kain tradisional ini kepada masyarakat luas, pemerintah daerah Lampung Selatan membangun Taman Kain Inuh. Pada taman terbuka hijau yang terletak di Kalianda itu berdiri Monumen Kain Inuh.
Pada 2005, tenun ikat ini diangkat dan dilestarikan menjadi motif batik khas Lampung Selatan. Kemdikbud menetapkannya sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia pada 2016.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami; Instagram, Facebook, Twitter dan TikTok.