Travelling Indonesia – Cuci parigi pusaka adalah upacara adat nan sakral dari Negeri Lanthoir, Banda Besar, Maluku Tengah.
Maluku, merupakan wilayah yang dihimpit berbagai pulau-pulau kecil nan indah. Ia memiliki beragam tradisi dan adat istiadat. Hampir setiap daerah atau perkampungan di tanah yang biasa disebut Seribu Pulau ini, memiliki tradisi khas.
Maluku juga menyimpan sejuta keindahan alam dan keragaman budaya yang tak ternilai. Bahkan, namanya tersebut dalam catatan di atas tanah liat yang ditemukan di Persia, Mesopotamia dan Mesir sebagai Tanah Surga.
Cuci parigi atau rofaer war merupakan ritual terpenting yang dimiliki masyarakat Desa Lonthoir, Banda Besar, Maluku Tengah. Ritual yang bersifat sakral dan magis itu berkaitan dengan penyebaran awal agama Islam di Negeri Lonthoir.
Pulau Banda Besar merupakan pulau terbesar dari sejumlah pulau di wilayah Kepulauan Banda, Provinsi Maluku. Letaknya di seberang Banda Neira. Bentuk pulaunya yang mirip bulan sabit memiliki luas wilayah tak lebih dari 2.800 hektare.
Ritual utama upacara adat cuci parigi pusaka adalah membersihkan dua buah parigi (sumur) kembar yang dikeramatkan masyarakat setempat. Dua sumur yang telah berusia ratusan tahun tersebut terletak di ketinggian 300 meter di atas permukaan laut, dengan kedalaman sekitar empat meter.
Upacara ini digelar 10 tahun sekali di Desa Lonthoir. Bagi masyarakat Desa Lonthoir, acara ini sangat penting. Sebab itu, mereka yang berada di perantauan akan menyempatkan pulang setiap digelarnya upacara ini.
Sejarah Cuci Parigi Pusaka
Dikisahkan, sejumlah ulama penyebar agama Islam dari Timur Tengah datang ke wilayah tersebut dan mencari air wudhu sebelum menunaikan salat. Tiba-tiba seekor kucing muncul dari semak-semak. Dari lokasi kucing itu muncul, ternyata ada sumber mata air.
Sumber mata air yang ditemukan ulama itulah yang kemudian menjadi cuci parigi pusaka.
Sebenarnya sulit dipercaya ada sumber mata air yang melimpah pada ketinggian seperti itu. Apalagi hanya dengan kedalaman empat meter. Meski demikian, itulah yang terjadi. Sumur kembar ini bahkan tidak kering saat musim kemarau.
Selain terkait dengan sejarah penyebaran Islam di wilayah setempat, upacara cuci parigi pusaka ini juga mengandung nilai dan gagasan mengenai perjuangan serta sikap penuh pengorbanan para leluhur yang berani melawan penjajahan di tanah Banda.
Melalui upacara cuci parigi pusaka, generasi selanjutnya melakukan penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang. Dalam upacara ini, mereka juga memanjatkan doa-doa untuk nenek moyang mereka yang telah berada di alam keabadian.
Prosesi Ritual Cuci Parigi Pusaka
Sebelum upacara digelar, masyarakat negeri adat Andan Orsia atau Lonthoir, melakukan prosesi penjemputan saudara kandung dari negeri adat Andan Orlima. Dalam Hikayat Lonthoir, dikisahkan bahwa negeri adat Andan Orsia dan Andan Orlima memiliki satu garis keturunan (nasab).
Saudara dari negeri adat Andan Orlima dijemput seperti layaknya seorang raja dan ratu dari kahyangan. Kaki dan badan para sesepuh atau tua-tua adat dari Andan Orlima tak boleh tersentuh air, meski hanya setetes. Mereka diangkat dengan kursi dan berbagai alat lain.
Pembukaan upacara dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Sebelum pembukaan, ada ritual mengarak belang darat oleh 99 pria diiringi cakalele (tarian khas Maluku) dari arah rumah adat Lonthoir menuju parigi pusaka.
Sembilan puluh sembilan orang ini adalah mereka yang ditunjuk untuk membersihkan Parigi Pusaka. Dari mereka, ada 81 orang yang kemudian menjadi pasukan utama untuk membersihkan parigi.
Jumlahnya 81 orang, karena ada sembilan anak tangga, dengan perhitungan setiap anak tangga ditempati oleh sembilan orang. Mereka mengenakan benang kuning di kepala.
Setelah acara dibuka secara resmi, para pria yang bertugas masuk ke parigi. Diiringi tarian adat dan lantunan irama tifa, mereka turun perlahan-lahan membersihkan air di parigi.
Mereka menimba air hingga habis. Dalam prosesi itu, terlihat mereka saling menyiram dan menggosok tubuh dengan air serta lumpur. Air dari parigi itu menjadi rebutan warga untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing.
Usai membersihkan parigi hingga kering, regu tari cakalele menjemput kain gajah dari rumah adat. Kain gajah warna putih sepanjang 99 meter itu dihantar warga, selanjutnya digunakan untuk membilas air di parigi hingga kering.
Setelah air parigi benar-benar kering, ratusan perempuan, mulai dari anak-anak hingga dewasa, menarik dan membawa kain ke pantai desa untuk dibersihkan.
Kain gajah yang telah digunakan untuk menyerap sisa air dan kotoran parigi diangkat dari sumur kemudian diangkut oleh puluhan wanita menuju pantai Negeri Lonthoir. Mereka tidak beralas kaki, berbaris, menggotong di atas bahu, menuruni 360 anak tangga warna warni Lonthoir, pergi ke pantai untuk membersihkan kain gajah tersebut.
Prosesi ritual cuci Parigi dipilih waktunya saat air laut surut. Jadi ketika air pasang, parigi pun akan kembali tergenang.
Menjaga Mata Air
Selain sebagai upacara yang bersifat sakral, upacara mencuci sumur ini dilakukan guna menjaga mata air yang menjadi sumber kehidupan warga setempat. Pembersihan mata air secara rutin dilakukan setiap 10 tahun sekali guna melindungi masyarakat dari berbagai hal tak diinginkan.
Parigi pusaka ini kemudian menjadi sumber air untuk kehidupan masyarakat Desa Lonthoir. Tradisi yang merupakan warisan leluhur itu mengajarkan pada masyarakat setempat untuk membersihkan parigi dan menyucikakan warga dan negeri dari kotoran dalam makna kebersihan hati dan jiwa.
Dapatkan sejumlah berita terkini setiap harinya hanya di Travelling Indonesia, dan jangan lupa follow sejumlah akun media sosial kami Instagram, Facebook dan Twitter.