Travelling Indonesia – Masyarakat Lampung memiliki kesenian topeng tradisional. Tupping namanya. Seni topeng ini ditampilkan dalam bentuk pertunjukan drama tari kepahlawanan.
Tupping merupakan topeng kayu yang berjumlah 12, masing-masing topeng memiliki ekspresi wajah dan karakter tokoh yang berbeda-beda. Karakter yang ditampilkan tupping antara lain kesatria yang sakti, tetua yang bijaksana, kesatria berwatak kasar, kesatria berwibawa, putri yang lemah gemulai, anak-anak yang sedang bersedih, dan tokoh jenaka.
Karakter topeng yang ditampilkan disesuaikan dengan kisah yang ditampilkan dalam pertunjukan.
Baca:
- Taman Nasional Taka Bonerate, Terbesar Ketiga di Dunia
- Soto Padang, Kehangatan Dalam Semangkuk Kuliner Berkuah
- Tari Ratoh Jaroe, Gerakkan Hati Saling Tebar Kebaikan
Dulu, tupping dianggap memiliki nilai sakral yang tinggi. Sebab itu, jumlahnya tidak dapat ditambah ataupun dikurangi, tidak bisa ditiru ataupun diubah bentuk karakternya. Karena sifatnya yang sakral, tidak sembarang orang dapat mengenakannya.
Jumlah tupping ada 12, dengan julukan, tugas, dan karakteristik yang berbeda-beda. Kedua belas tupping adalah pasukan khusus yang bertugas memantau pergerakan penjajah di sekitar Kalianda dan Gunung Rajabasa.
Di daerah Kuripan, tupping hanya dapat digunakan oleh orang dari garis keturunan tertentu. Sementara, di daerah Canti, topeng kayu ini hanya boleh digunakan oleh pemuda berusia 20 tahun.
Daerah Canti dan Kuripan merupakan dua daerah yang identik dengan tradisi tupping. Di dua daerah itu, tupping dikenal sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah Belanda.
Pada saat ini, masyarakat Lampung menampilkan tupping sebagai drama tari kepahlawanan. Drama ini biasa ditampilkan dalam prosesi pernikahan adat Lampung.
Cerita yang diangkat biasanya mengisahkan kegigihan pasukan Radin Inten I (1751-1828), Radin Imba II (1828-1834), dan Radin Inten II (1834-1856) dalam melawan kolonial Belanda. Para tokoh ini dikenal sebagai pahlawan kebanggaan masyarakat Lampung yang gigih mengobarkan semangat perlawanan terhadap panjajahan Belanda.
Sebagian tupping tua masih disimpan oleh keluarga pemiliknya di Lampung Selatan. Selain itu, patung tupping juga tersebar di beberapa titik di Lampung Selatan sebagai penanda kota, seperti di daerah dermaga Bom Baru dan di gerbang masuk kota Kalianda yang berada di jalan lintas Sumatera.
Saat ini, tupping telah direaktualisasi atau dikembangkan dalam bentuk pentas seni dan festival budaya. Tupping Seribu Wajah pernah menjadi bagian dari Festival Krakatau yang diadakan setiap tahun oleh Pemprov Lampung. Pada 2016, Kemdikbud menetapkannya sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia asal Provinsi Lampung.